Ketiga: Alasan mereka bahwa ilmu kedokteran belum menyingkapnya
Jawaban: Syaikh Al-Allamah Abdur Rahman bin Yahya Al-Mua’llimi berkata ketika membantah Abu Rayyah: “Seluruh ahli kedokteran mengakui bahwa mereka tidak mengilmui segala sesuatu. Karenanya, mereka selalu mengadakan penelitian dan penyelidikan satu demi satu. Lantas mengapa Abu Rayyah dan orang-orang semisalnya tidak percaya kalau Allah mengajarkan pada rasul-Nya ilmu yang belum dijangkau oleh ilmu kedokteran padahal Sang Pencipta dan Pengatur adalah pembuat syari’at?!!”. [16]
Jawaban: Syaikh Al-Allamah Abdur Rahman bin Yahya Al-Mua’llimi berkata ketika membantah Abu Rayyah: “Seluruh ahli kedokteran mengakui bahwa mereka tidak mengilmui segala sesuatu. Karenanya, mereka selalu mengadakan penelitian dan penyelidikan satu demi satu. Lantas mengapa Abu Rayyah dan orang-orang semisalnya tidak percaya kalau Allah mengajarkan pada rasul-Nya ilmu yang belum dijangkau oleh ilmu kedokteran padahal Sang Pencipta dan Pengatur adalah pembuat syari’at?!!”. [16]
Sebenarnya hadits ini tidak bertentangan sama sekali dengan ilmu kedokteran bahkan mendukungnya karena Nabi menginformasikan bahwa dalam sayap lalat terdapat penyakit tetapi Nabi menambah suatu ilmu yang belum terjangkau oleh mereka yaitu “Pada sayap lainnya terdapat obat penawarnya”. Maka sebagai seorang yang beriman kita harus percaya kepada hadits Nabi yang telah disifati oleh Allah (yang artinya) :
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm: 3)
Kita lebih percaya kepada wahyu daripada penelitian manusia yang serba kekurangan.
Allah berfirman, yang artinya:
Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (QS. Al-Isra’: 85)
Terlepas dari apakah hadits ini bertentangan dengan ilmu kedokteran atau tidak, kita tetap mengatakan bahwa hadits ini benar adanya, apalagi telah terbukti dari beberapa penelitian ahli kedokteran yang membenarkan hadits ini[17] seperti pernah diungkapkan oleh seorang dokter di Yayasan Al-Hidayah Al-Islamiyyah Mesir mengenai hadits ini: “Lalat itu terbentuk dari bahan-bahan kotor yang penuh dengan kuman dan dapat menimbulkan beberapa penyakit yang beraneka macam. Lalat dapat menyebarkannya melalui kuku-kukunya dan memakan sebagian lainnya. Dengan demikian, maka pada jasadnya terdapat sesuatu beracun yang dalam ilmu kedokteran disebut “bakteri”. Bakteri ini akan membunuh kuman-kuman penyakit tadi sehingga kuman tidak dapat bertahan hidup atau berpengaruh pada diri seorang manusia bilamana bakteri tadi ada.
Pada sayap lalat terdapat keistimewaan, dia dapat memindah bakteri ke ujung sayap. Oleh karena itu, apabila sayap jatuh pada minuman atau makanan dan melepaskan kuman-kuman yang menempel di kukunya pada minuman tersebut, maka penangkal pertama yang paling potensial adalah bakteri yang berada dibawa oleh lalat di tenggorokan dengan salah satu sayapnya. Apabila ada obat penawar, maka obatnya sangat dekat dengannya. Dan mencelupnya lalu membuangnya adalah cara jitu untuk membunuh kuman-kuman yang menempel serta membendung dari pengaruh kuman pada diri manusia”. Keterangan serupa juga pernah disampaikan oleh dokter Al-Ustadz Sa’id As-Shuyuti, dokter Mahmud Kamal dan Muhammad Abdul Mun’im Husain sebagaimana dalam Majalah Al-Azhar.[18]
Saya (Ustadz Abu Ubaidah-editor) teringat ketika dalam suatu majlis ilmi di Masjid Ibnu Utsaimin, tatkala Syaikhuna Sami Muhammad (meanantu Syaikh Ibnu Utsaimin, kini pengganti Syaikh Ibnu Ustaimin di Unaizah-editor) menyindir hadits lalat, DR. Shalih ash-Shalih[19] mengabarkan bahwa dirinya dan beberapa muridnya telah mengadakan penelitian baru tentang analisa mikrobiologi tentang sayap lalap, akhirnya menemukan hasil yang menakjubkan sesuai dengan berita Nabi[20]. Segala puji bagi Allah.
Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah[21]: “Ketahuilah bahwa pada lalat terdapat racun (kuman penyakit) yang terletak pada sengatnya yang merupakan senjata bagi dirinya. Jika ia jatuh atau hinggap pada sesuatu, maka yang pertama menyentuh adalah senjata tadi. Oleh sebab itulah Nabi Muhammad memerintahkan agar mencelupkan lalat itu ke dalam makanan atau minuman yang dihinggapinya. Tujuannya agar kuman penyakit itu menjadi tawar (tidak berfungsu lagi) dan hilanglah bahaya yang ditimbulkannya. Teori ini tidak pernah keluar dari para pakar dan pemuka ahli kedokteran, melainkan a merupakan percikan kemilauannya cahaya kenabian Muhammad. Dengan demikian, maka seorang dokter/tabib yang arif akan tunduk terhadap sistem kedokteran ini dan akan mengakui bahwa Rasulullah adalah makhluk yang paling sempurna dan dikuatkan oleh wahyu ilahi diluar jangkauan kekuatan manusia”.[22]
Keempat: Hadits ini bertentangan dengan akal (logika)
Mereka mengatakan: Bagaimana mungkin penyakit dan obat terhimpun dalam satu hewan. Ini tidak masuk akal?!
Jawab: Mengapa tidak masuk akal?! Akalnya siapa yang tidak dapat menerima hadits ini? Apakah anda tidak memperhatikan bahwa pada tawon/lebah terkumpul antara madu yang bermanfaat dan racun berbahaya! Demikian pula pada kalajengking terdapat penyakit serta obat penawarnya[23].
Imam Al-Khaththabi berkata dalam Ma’alimus Sunan (4/459): “Sebagian orang yang tak berakhlak mencela hadits ini seraya berceloteh: Bagaimana mungkin ini terjadi?! Bagaimana mungkin penyakit dan obat berkumpul dalam sayap lalat?! Bagaimana lalat mampu mengerti sehingga dia mengedepankan terlebih dahulu sayap yang berisi penyakit kemudian mengakhirkan sayap obat penawarnya?! Apa yang membuat lalat begitu pandai?!
Saya (Al-Khaththabi) berkata: “Ini adalah pertanyaan orang yang benar-benar jahil atau memang hanya pura-pura jahil. Seorang yang dapat merasakan kehidupan dirinya dan kehidupan hewan-hewan dia akan mendapati terkumpulnya panas dan dingin, kering dan basah yang saling berlawanan dimana apabila bertemu maka akan saling merusak tetapi Allah mampu untuk menyatukannya dan menjadikannya sebagai kekuatan hewan agar tidak ada orang yang ingkar akan terkumpulnya penyakit dan obat dalam satu hewan. Dia juga mengetahui bahwa Dzat yang mengajari lebah untuk membuat rumah yang sangat menakjubkan serta mengeluarkan madu dan Dzat yang mengajari semut agar mencari makanan pokok serta mmenyimpan untuk kebutuhan hidupnya, Dialah yang menciptaan lalat dan mengajarinya agar mengedepankan sayap penyakit dulu kemudian sayap obatnya. Semua itu adalah keinginan Allah untuk menguji hamba-Nya sebagai wujud ta’abbud (ibadah). Pada segala sesuatu terdapat pelajaran dan hikmah. Dan tidak ada yang dapat memahaminya kecuali orang-orang yang berakal”.[24]
Imam Ibnul Jauzi mengatakan: “Apa yang diungkapkan orang ini tidaklah aneh karena lebah saja dapat mengeluarkan madunya dari arah atas dan mengeluarkan racunnya dari arah bawah”. [25]
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi berkata: “Kalau ada yang mengatakan dari manusia yang jahil tentang hadits Nabi: Apakah lalat bisa mendahulukan salah satu sayapnya karena suatu alasan dan mengakhirkan salah satu sayap lainnya karena alasan yang berbeda? Jawaban kita terhadap pertanyaan tersebut: Seandainya dia membaca Al-Qur’an dengan renuangan, niscaya dia akan mendapati kebenaran ucapan Nabi. Allah berfirman, yang artinya:
Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”. (QS. An-Nahl: 68)
Jadi Allah-lah yang mewahyukan kepadanya agar mengerjakan apa yang Dia perintahkan kepadanya”.[26]
D. FATWA DAN KOMENTAR ULAMA TENTANG HADITS LALAT
Untuk melengkapi pembahasan ini agar bertambah ilmiyyah, maka penulis nukilkan sebagian fatwa dan komentar para ulama rabbaniyyun yang telah menjelaskan masalah hadits ini secara gamblang. Berikut komentar mereka:
1. Lajnah Daimah pernah ditanya tentang hadits ini, maka mereka menjawab: “Hadits ini sanadnya shahih diriwayatkan Bukhari dan memiliki penguat dari jalur Abu Said diriwayatkan Nasa’i dan Ibnu Majah serta jalur Anas bin Malik diriwayatkan Al-Bazzar. Matan hadits ini juga tidak bertentangan dengan akal, lantaran akal tidak menjangkau bahwa pada dua sayap lalat terdapat penyakit dan obat. Hal itu hanyalah dapat diketahui lewat cara penelitian atau lewat informasi dari wahyu. Dan secara penelitian tidak dijumpai hal yang menegaskan akan hal ini. Hal itu hanyalah perasaan jijik yang timbul dari perasaan dan tabiat manusia. Adapun rasulullah, beliau tidak mengetahui masalah ini berdasarkan penelitian dan penyelidikan karena beliau adalah buta huruf tetapi beliau mengetahui berdasarkan informasi dari Allah yang menciptakan segala sesuatu
Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan) dan Dia Maha halus lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Mulk: 14)
Apabila hadits ini secara sanad adalah shahih dan bersumber dari Dzat yang mengetahui segala sesuatu melalui lisan Nabi yang jujur, maka wajib bagi kita untuk menegaskan keabsahan hadits ini. Sedangkan alasan bahwa hadits ini bertentangan dengan akal adalah alasan yang rapuh dan prasangka belaka yang harus dibuang sejauh mungkin. Dengan demikian, maka teranglah kebenaran dan lenyaplah kebatilan, sesungguhnya kebatilan pasti hancur musnah”. [27]
2. Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz mengatakan: “Adapun hadits tentang lalat, maka hadits tersebut berderajat shahih. Diriwayatkan Bukhari dalam Shahihnya dan mempunyai syawahid (penguat) dari hadits Abu Said Al-Khudri dan Anas bin Malik. Seluruhnya shahih dan diterima oleh umat. Barangsiapa yang mencela hadits ini, berarti dia adalah salah dan jahil, tidak boleh dianggap perkataannya. Dan salah juga orang yang menganggap bahwa hadits ini berkaitan dengan urusan dunia[28] sedangkan Nabi sendiri bersabda:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.
Alasannya, karena Rasul menegaskan akan hal ini dan mengambil hukum syar’i darinya. Tidaklah beliau mengatakan “Saya menyangka” tetapi tegas dan perintah. Hal ini menunjukkan bahwa hadits tersebut adalah syari’at dari Rasul karena beliau bersabda:
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ ِشَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ
Apabila lalat jatuh dalam minuman seorang diantara kalian, maka celupkanlah lalu buanglah.
Ini adalah perintah dan syari’at dari Rasul pada umatnya, sedangkan beliau tidak mungkin berbicara dengan hawa nafsu, tetapi hanya dari wahyu saja”. [29]
3. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan dalam bukunya “Makarimul Akhlaq” hal. 16-18: “Salah satu bentuk akhlak yang mulia terhadap Sang Pencipta adalah membenarkan segala berita-Nya dengan tiada keraguan secuilpun dalam hati karena berita Allah dibangun di atas ilmu dan kebenaran. Allah berfirman tentang diri-Nya:
Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya daripada Allah? (QS. An-Nisa’: 87)
Konsekuensi dari pembenaran ini adalah menyakininya dengan mantap, membela dan berjuang mempertahankannya sehingga tidak ada sedikitpun keraguan dan kerancuan dalam masalah khabar Allah dan rasul-Nya. Apabila seorang hamba berakhlaq dengan akhlaq mulia ini, niscaya dia akan dapat menampik segala kerancuan yang dilancarkan oleh para pengacau agama baik internal, kaum muslimin yang menyimpang dan berbuat bid’ah dalam agama maupun eksternal, kaum kafirin yang sengaja menebarkan kerancuan di hati orang-orang Islam untuk menyesatkan dan menfitnah mereka.
Sebagai contoh, hadits tentang lalat. Dalam Shahih Bukhari dari sahabat Abu Hurairah bahwa Nabi pernah bersabda:
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ ِشَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِيْ إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِيْ
الآخَرِ شِفَاءً
Apabila lalat jatuh dalam minuman seorang diantara kalian, maka celupkanlah lalu buanglah karena pada satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya terdapat obat penawarnya.
Hadits ini merupakan informasi dari Nabi. Sedangkan Nabi tidak mungkin berbicara berdasarkan hawa nafsunya, tetapi wahyu dari Allah sebab beliau adalah manusia yang tidak mengetahui ilmu ghaib.
Hadits seperti ini harus kita sikapi dengan akhlaq yang mulia yaitu menerimnya dengan tunduk dan pasrah walaupun banyak orang yang menentangnya. Karena kita yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa setiap yang menyelisihi hadits shahih pasti batil. Allah berfirman, yang artinya:
Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)? (QS. Yunus: 32)”.
Demikianlah pembahasan kita kali ini. Semoga Allah menjadikannya ikhlas mengaharap wajah-Nya dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
FAWAID HADITS[30]
Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah dan hokum yang penting, diantaranya:
1. Kesempurnaan syari’at Islam, dimana dia menjelaskan secara gamblang masalah penyakit badan dan juga penyakit hati. Oleh karenanya, tidak ada satu permasalahanpun kecuali Allah dan rasulNya telah menjelaskannya.
2. Kemampuan Allah yang telah menjadikan pada satu hewan dua hal yang kontradiksi yaitu penyakit dan obatnya. Semua ini menunjukkan bahwa Allah Maha mampu atas segala sesuatu.
3. Lalat itu suci dan tidak najis, baik masih hidup maupun sesudah mati. Sebab seandainya najis, tentu Nabi akan memerintahkan supaya airnya dibuang.
4. Apabila lalat mati di air maka tidak menajiskan air tersebut. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan tidak diketahui adanya perselisihan tentangnya[31]. Demikian pula hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti semut, tawon, laba-laba dan sejenisnya. Segi pandalilannya, karena Nabi memerintahkan dalam hadits ini supaya kita mencelupkannya yang kemungkinan besar akan menyebabkan kematiannya. Nah, kalau hal itu menajiskannya maka Nabi akan memerintahkan supaya membuang minuman yang dihinggapi lalat, sedangkan Nabi tidak memerintahkan demikian[32].
5. Apabila lalat masuk ke minuman maka dianjurkan untuk mencelupkannya kemudian membuang lalatnya serta memanfaatkan minuman tersebut.
6. Hadits ini merupakan salah satu bukti keajaiban hadits Nabi. Sebab ilmu medis masa kini telah menyingkap bahwa pada lalat memang terdapat penyakit pada salah satu sayapnya dan obat pada sayap lainnya.
7. Anjuran untuk mencari sebab, karena Nabi menganjurkan untuk melawan penyakit dengan obatnya. Dan Allah tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan juga obat penawarnya.
8. Boleh membunuh setiap hewan yang mengganggu dan menyakiti.
9. Tidak setiap sesuatu yang dianggap jijik oleh tabiat manusia itu dianggap najis dalam hukum syari’at.
10. Hendaknya manusia mengampil pelajaran dari segala sesuatu, sekalipun dari seekor lalat yang dianggap binatang hina.
Kita berdoa kepada Allah agar menguatkan keimanan dalam hati kita semua. Amiin.
[1]Tulisan pernah dimuat pada edisi 2/Th. III, namun kami angkat lagi dengan beberapa tambahan resensi dan revisi yang cukup banyak.
[2] Al-I’tisham 1/294-295
[3] At-Talkhis al-Habir 1/38.
[4] Lihat al-Fathu al-Kabir 2/273.
[5] Lihat Ar-Raddu al-Qawim ala at-Turabi hal. 83 oleh Syaikh Amin Haj Muhammad.
[6] Mahmud Abu Rayyah adalah seorang yang sangat benci terhadap sunnah dan para pembelanya dari kalangan para sahabat, terutama sahabat mulia Abu Hurairah yang banyak meriwayatkan hadits. Diantara buku hasil goresan tangannya yang keji adalah Adhwa’ Islamiyyah ‘ala Sunnah Muhammadiyyah yang memuat pendapat para tokoh Mu’tazilah, Syia’ah dan oriantalis sehingga buku ini sangat menyenangkan musuh-musuh Islam. Oleh karena itulah, para ulama bangkit membantah kitab sesat tersebut seperti Syaikh Abdur Razzaq Hamzah dalam bukunya “Zhulumat Abu Rayyah” dan Syaikh Abdur Rahman bin Yahya al-Mu’allimi dalam bukunya Al-Anwar al-Kasyifah…”. (Lihat as-Sunnah wa Makanatuha Syaikh Musthafa as-Siba’I hal. 467 dan Zawabi’ fi Wajhi Sunnah Maqbul Ahmad hal. 81-85)
[7] Al-Allamah Syaikh Abdur Rahman bin Yahya al-Mu’allimi berkata dalam Muqaddimah al-Anwar al-Kasyifah: “Tatkala saya mencermati isi buku ini, ternyata telah tersusun rapi untuk menghujat dan mencela hadits Nabi”.
[8] Dinukil oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits As-Shahihah 1/98.
[9] Lihat komentar Syaikh Ahmad Syakir dalam Syarh Musnad Ahmad 6/553.
[10] Lihat al-Baits al-Hatsits Syaikh Ahmad Syakir 1/75.
[11] Imam Ibnu Hazm menegaskan dalam Jawami’ Sirah 275 bahwa Abu Hurairah meriwayatkan sebanyak 5374 hadits. Demikian juga Ibnul Jauzi dalam Talqih Fuhum Ahli Atsar 183 dan adz-Dzahabi dalam Siyar 2/632. DR. Muhammad Dhiya’ Rahman al-A’zhami telah mengumpulkan riwayat-riwayat Abu Hurairah dalam Musnad Imam Ahmad dan kutub sittah, beliau dapat mencapai 13336 hadits saja. Lihat Abu Hurairah fi Dhaui Marwiyyatihi hal. 76. (Dinukil dari Syarh Bulughul Maram al-Audah 1/275).
[12] Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah hal. 48 oleh Al-Khathib Al-Baghdadi.
[13] Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihahin (3/513)
[14] Siyar A’lam Nubala (1/618-619)
[15] Fathul Bari (4/364-365)
[16] al-Anwar al-Kasyifah hal. 221
[17] Ucapan ahli medis kita nukil untuk dua faedah: Pertama: Menambah kemantapan kita. Kedua: Bantahan terhadap pencela syari’at karena akal cekak mereka. Jadi kita tidak menolak semua ucapan para ahli medis dan kita juga tidak menerima semua omongan mereka. Kalau memang ucapan mereka bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah yang jelas, maka kita menolak ucapan mereka dan kita katakan: Akan datang suatu zaman, dimana manusia akan membuktikan kedustaan omongan kalian dan kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram Ibnu Utsaimin 1/130).
[18] Lihat Silsilah Ahadits As-Shahihah al-Albani 1/97-98, Difa’ ‘an Sunnah Abu Syuhbah hal. 169, al-Ishabah fi Sihhah Hadits Dzubabah Khalil Ibrahim Mula Khathir hal. 133-178.
[19] Beliau adalah salah satu murid Syaikh Ibnu Utsaimin, ahli fisika dan biologi, aktif berdakwah dengan bahasa Inggris, wafat usai sholat jumat di masjid Nabawi, 22 Shofar 1429 H.
[20] Lihat juga Majalah Adz-Dzakhiroh Al-Islamiyah no. 3 Edisi 35 hlm. 21-23
[21] Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/252 mengisyaratkan penjelasan Ibnu Qayyim ini dengan tanpa menyebut namanya, tetapi beliau mensifatinya dengan ucapannya “Sebagian pakar ahli kedokteran”.
[22] Zadul Ma’ad (4/112-113)
[23] Lihat Faidhul Qadir 1/567 oleh Al-Munawi.
[24] Dinukil juga oleh al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 11/261-262 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 10/252.
[25] Dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 10/252.
[26] Syarh Musykil Atsar 8/343
[27] Fatawa Lajnah Daimah 4/425.
[28] Lihat juga Syubuhat Haula Sunnah, Abdur Rozzaq ‘Afifi hal. 15-44
[29] Majmu Fatawa wa Maqalat 6/373.
[30] Lihat Fathu Dzil Jalal wal Ikram Ibnu Utsaimin 1/130-134, Taudhihul Ahkam Ibnu Bassam 1/148, Tashil Ilmam Shalih al-Fauzan 1/62-63.
[31] Lihat al-Ausath Ibnul Mundzir 1/282.
[32] Zadul Ma’ad Ibnu Qayyim 4/102, Syarh Sunnah al-Baghawi 11/260)
http://abiubaidah.com