Artikel terbaru

Tuntunan Shalat Sunnah Rawatib

Sesungguhnya diantara hikmah dan rahmat Allah atas hambanya adalah disyariatkannya At-tathowwu’ (ibadah tambahan). Dan dijadikan pada ibadah wajib diiringi dengan adanya at-tathowwu’ dari jenis ibadah yang serupa. Hal itu dikarenakan untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada ibadah wajib.

Dan sesungguhnya at-tathowwu’ di dalam ibadah sholat yang paling utama adalah sunnah rawatib. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengerjakannya dan tidak pernah sekalipun meninggalkannya dalam keadaan mukim (tidak bepergian jauh).

Mengingat pentingnya ibadah ini, serta dikerjakannya secara berulang-ulang sebagaimana sholat fardhu, sehingga saya (penulis) ingin menjelaskan sebagian dari hukum-hukum sholat rawatib secara ringkas :

1. Keutamaan Sholat Rawatib
Ummu Habibah radiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang keutamaan sholat sunnah rawatib, dia berkata: saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang sholat dua belas rakaat pada siang dan malam, maka akan dibangunkan baginya rumah di surga”. Ummu Habibah berkata: saya tidak pernah meninggalkan sholat sunnah rawatib semenjak mendengar hadits tersebut. ‘Anbasah berkata: Maka saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah. ‘Amru bin Aus berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Ansabah. An-Nu’am bin Salim berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Amru bin Aus. (HR. Muslim no. 728)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang sholat sunnah rawatib sebelum (qobliyah) shubuh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya”. Dalam riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku cintai daripada dunia seisinya” (HR. Muslim no. 725)

Adapun sholat sunnah sebelum shubuh ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah rawatib dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya baik ketika mukim (tidak berpegian) maupun dalam keadaan safar.
Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan tentang keutamaan rawatib dzuhur, dia berkata: saya mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjaga (sholat) empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka”. (HR. Ahmad 6/325, Abu Dawud no. 1269, At-Tarmidzi no. 428, An-Nasa’i no. 1814, Ibnu Majah no. 1160)

2. Jumlah Sholat Sunnah Rawatib
Hadits Ummu Habibah di atas menjelaskan bahwa jumlah sholat rawatib ada 12 rakaat dan penjelasan hadits 12 rakaat ini diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan An-Nasa’i, dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan dua belas (12) rakaat pada sholat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga, (yaitu): empat rakaat sebelum dzuhur, dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat sesudah maghrib, dan dua rakaat sesudah ‘isya, dan dua rakaat sebelum subuh”. (HR. At-Tarmidzi no. 414, An-Nasa’i no. 1794)

3. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Qobliyah Subuh
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, “Bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh membaca surat Al Kaafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد).”  (HR. Muslim no. 726)

Dan dari Sa’id bin Yasar, bahwasannya Ibnu Abbas mengkhabarkan kepadanya: “Sesungguhnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh dirakaat pertamanya membaca: (قولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا) (QS. Al-Baqarah: 136), dan dirakaat keduanya membaca: (آمنا بالله واشهد بأنا مسلمون) (QS. Ali Imron: 52). (HR. Muslim no. 727)

4. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Ba’diyah Maghrib
Dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anha, dia berkata: Saya sering mendengar Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau membaca surat pada sholat sunnah sesudah maghrib:” surat Al Kafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد). (HR. At-Tarmidzi no. 431, berkata Al-Albani: derajat hadits ini hasan shohih, Ibnu Majah no. 1166)

5. Apakah Sholat Rawatib 4 Rakaat Qobiyah Dzuhur Dikerjakan dengan Sekali Salam atau Dua Kali Salam?
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sunnah Rawatib terdapat di dalamnya salam, seseorang yang sholat rawatib empat rakaat maka dengan dua salam bukan satu salam, karena sesungguhnya nabi bersabda: “Sholat (sunnah) di waktu malam dan siang dikerjakan dua rakaat salam dua rakaat salam”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/288)

6. Apakah Pada Sholat Ashar Terdapat Rawatib?
As-Syaikh Muammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada sunnah rawatib sebelum dan sesudah sholat ashar, namun disunnahkan sholat mutlak sebelum sholat ashar”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/343)

7. Sholat Rawatib Qobliyah Jum’at
As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata: “Tidak ada sunnah rawatib sebelum sholat jum’at berdasarkan pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama’. Akan tetapi disyari’atkan bagi kaum muslimin yang masuk masjid agar mengerjakan sholat beberapa rakaat semampunya” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 12/386&387)

8. Sholat Rawatib Ba’diyah Jum’at
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mengerjakan sholat jum’at, maka sholatlah sesudahnya empat rakaat”. (HR. Muslim no. 881)

As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, “Adapun sesudah sholat jum’at, maka terdapat sunnah rawatib sekurang-kurangnya dua rakaat dan maksimum empat rakaat” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 13/387)

9. Sholat Rawatib Dalam Keadaan Safar
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam didalam safar senantiasa mengerjakan sholat sunnah rawatib sebelum shubuh dan sholat sunnah witir dikarenakan dua sholat sunnah ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah, dan tidak ada riwayat bahwasannya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan sholat sunnah selain keduanya”. (Zaadul Ma’ad 1/315)

As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata: “Disyariatkan ketika safar meninggalkan sholat rawatib kecuali sholat witir dan rawatib sebelum subuh”. (Majmu’ fatawa 11/390)

10. Tempat Mengerjakan Sholat Rawatib
Dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lakukanlah di rumah-rumah kalian dari sholat-sholat dan jangan jadikan rumah kalian bagai kuburan”. (HR. Bukhori no. 1187, Muslim no. 777)

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sudah seyogyanya bagi seseorang untuk mengerjakan sholat rawatib di rumahnya…. meskipun di Mekkah dan Madinah sekalipun maka lebih utama dikerjakan dirumah dari pada di masjid Al-Haram maupun masjid An-Nabawi; karena saat nabi shallallahu a’alihi wasallam bersabda sementara beliau berada di Madinah….. Ironisnya manusia sekarang lebih mengutamakan melakukan sholat sunnah rawatib di masjidil haram, dan ini termasuk bagian dari kebodohan”. (Syarh Riyadhus Sholihin 3/295)

11. Waktu Mengerjakan Sholat Rawatib
Ibnu Qudamah berkata: “Setiap sunnah rawatib qobliyah maka waktunya dimulai dari masuknya waktu sholat fardhu hingga sholat fardhu dikerjakan, dan sholat rawatib ba’diyah maka waktunya dimulai dari selesainya sholat fardhu hingga berakhirnya waktu sholat fardhu tersebut “. (Al-Mughni 2/544)

12. Mengganti (mengqodho’) Sholat Rawatib
Dari Anas radiyallahu ‘anhu dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang lupa akan sholatnya maka sholatlah ketika dia ingat, tidak ada tebusan kecuali hal itu”. (HR. Bukhori no. 597, Muslim no. 680)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan hadits ini meliputi sholat fardhu, sholat malam, witir, dan sunnah rawatib”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/90)

13. Mengqodho’ Sholat Rawatib Di Waktu yang Terlarang
Ibnu Qoyyim berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengqodho’ sholat ba’diyah dzuhur setelah ashar, dan terkadang melakukannya terus-menerus, karena apabila beliau melakukan amalan selalu melanggengkannya. Hukum mengqodho’ diwaktu-waktu terlarang bersifat umum bagi nabi dan umatnya, adapun dilakukan terus-menerus pada waktu terlarang merupakan kekhususan nabi”. (Zaadul Ma’ad  1/308)

14. Waktu Mengqodho’ Sholat Rawatib Sebelum Subuh
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum sholat subuh, maka sholatlah setelah matahari terbit”. (At-Tirmdzi 423, dan dishahihkan oleh Al-albani)

Dan dari Muhammad bin Ibrahim dari kakeknya Qois, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar rumah mendatangi sholat kemudian qomat ditegakkan dan sholat subuh dikerjakan hingga selesai, kemudian nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling menghadap ma’mum, maka beliau mendapati saya sedang mengerjakan sholat, lalu bersabda: “Sebentar wahai Qois apakah ada sholat subuh dua kali?”. Maka saya berkata: Wahai rasulullah sungguh saya belum mengerjakan sholat sebelum subuh, rasulullah bersabda: “Maka tidak mengapa”. (HR. At-Tirmidzi). Adapun pada Abu Dawud dengan lafadz: “Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam (terhadap yang dilakukan Qois)”. (HR. At-tirmidzi no. 422, Abu Dawud no. 1267, dan Al-Albani menshahihkannya)

As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang masuk masjid mendapatkan jama’ah sedang sholat subuh, maka sholatlah bersama mereka. Baginya dapat mengerjakan sholat dua rakaat sebelum subuh setelah selesai sholat subuh, tetapi yang lebih utama adalah mengakhirkan sampai matahari naik setinggi tombak” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muammad bin Ibrahim 2/259 dan 260)

15. Jika Sholat Subuh Bersama Jama’ah Terlewatkan, Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Terlebih Dahulu atau Sholat Subuh?
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sholat rawatib didahulukan atas sholat fardhu (subuh), karena sholat rawatib qobliyah subuh itu sebelum sholat subuh, meskipun orang-orang telah keluar selesai sholat berjama’ah dari masjid” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsatimin 14/298)

16. Pengurutan Ketika Mengqodho’
As-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila didalam sholat itu terdapat rawatib qobliyah dan ba’diyah, dan sholat rawatib qobliyahnya terlewatkan, maka yang dikerjakan lebih dahulu adalah ba’diyah kemudian qobliyah, contoh: Seseorang masuk masjid yang belum mengerjakan sholat rawatib qobliyah mendapati imam sedang mengerjakan sholat dzuhur, maka apabila sholat dzuhur telah selesai, yang pertamakali dikerjakan adalah sholat rawatib ba’diyah dua rakaat, kemudian empat rakaat qobliyah”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/283)

17. Mengqodho’ Sholat Rawatib yang Banyak Terlewatkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Diperbolehkan mengqodho’ sholat rawatib dan selainnya, karena merupakan sholat sunnah yang sangat dianjurkan (muakkadah)… kemudian jika sholat yang terlewatkan sangat banyak, maka yang utama adalah mencukupkan diri mengerjakan yang wajib (fardhu), karena mendahulukan untuk menghilangkan dosa adalah perkara yang utama, sebagaimana “Ketika rasulullah mengerjakan empat sholat fardhu yang tertinggal pada perang Khondaq, beliau mengqodho’nya secara berturut-turut”. Dan tidak ada riwayat bahwasannya rasulullah mengerjakan sholat rawatib diantara sholat-sholat fardhu tersebut.…. Dan jika hanya satu atau dua sholat yang terlewatkan, maka yang utama adalah mengerjakan semuanya sebagaimana perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat sholat subuh terlewatkan, maka beliau mengqodho’nya bersama sholat rawatib”. (Syarh Al-’Umdah, hal. 238)

18. Menggabungkan Sholat-sholat Rawatib, Tahiyatul Masjid, dan Sunnah Wudhu’
As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seseorang masuk masjid diwaktu sholat rawatib, maka ia bisa mengerjakan sholat dua rakaat dengan niat sholat rawatib dan tahiyatul masjid, dengan demikian tertunailah dengan mendapatkan keutamaan keduanya. Dan demikian juga sholat sunnah wudhu’ bisa digabungkan dengan keduanya (sholat rawatib dan tahiyatul masjid), atau digabungkan dengan salah satu dari keduanya”. (Al-Qawaid Wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 75)

19. Menggabungkan Sholat Sebelum Subuh dan Sholat Duha Pada Waktu Duha
As-Syaikh Muhammad Bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Seseorang yang sholat qobliyah subuhnya terlewatkan sampai matahari terbit, dan waktu sholat dhuha tiba. Maka pada keadaan ini, sholat rawatib subuh tidak terhitung sebagai sholat dhuha, dan sholat dhuha juga tidak terhitung sebagai sholat rawatib subuh, dan tidak boleh juga menggabungkan keduanya dalam satu niat. Karena sholat dhuha itu tersendiri dan sholat rawatib subuh pun juga demikian, sehingga tidaklah salah satu dari keduanya terhitung (dianggap) sebagai yang lainnya. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 20/13)

20. Menggabungkan Sholat Rawatib dengan Sholat Istikhorah
Dari Jabir bin Abdullah radiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kami sholat istikhorah ketika menghadapi permasalahan sebagaimana mengajarkan kami surat-surat dari Al-Qur’an”, kemudian beliau bersabda: “Apabila seseorang dari kalian mendapatkan permasalahan, maka sholatlah dua rakaat dari selain sholat fardhu…” (HR. Bukhori no. 1166)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Jika seseorang berniat sholat rawatib tertentu digabungkan dengan sholat istikhorah maka terhitung sebagai pahala (boleh), tetapi berbeda jika tidak diniatkan”. (Fathul Bari 11/189)

21. Sholat Rawatib Ketika Iqomah Sholat Fardhu Telah Dikumandangkan
Dari Abu Huroiroh radiyallahu ‘anhu, dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu”. (HR. Muslim bi As-syarh An-Nawawi 5/222)
An-Nawawi berkata: “Hadits ini terdapat larangan yang jelas dari mengerjakan sholat sunnah setelah iqomah sholat dikumandangkan sekalipun sholat rawatib seperti rawatib subuh, dzuhur, ashar dan selainnya” (Al-Majmu’ 3/378)

22. Memutus Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu ditegakkan
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Apabila sholat telah ditegakkan dan ada sebagian jama’ah sedang melaksanakan sholat tahiyatul masjid atau sholat rawatib, maka disyari’atkan baginya untuk memutus sholatnya dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan sholat fardhu, berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu..”, akantetapi seandainya sholat telah ditegakkan dan seseorang sedang berada pada posisi rukuk dirakaat yang kedua, maka tidak ada halangan bagi dia untuk menyelesaikan sholatnya. Karena sholatnya segera berakhir pada saat sholat fardhu baru terlaksana kurang dari satu rakaat”. (Majmu’ Fatawa 11/392 dan 393)

23. Apabila Mengetahui Sholat Fardhu Akan Segera Ditegakkan, Apakah Disyari’atkan Mengerjakan Sholat Rawatib?
As-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah seharusnya (mengenai hal ini) dikatakan: “Sesungguhnya tidak dianjurkan mengerjakan sholat rawatib diatas keyakinan yang kuat bahwasannya sholat fardhu akan terlewatkan dengan mengerjakannya. Bahkan meninggalkannya (sholat rawatib) karena mengetahui akan ditegakkan sholat bersama imam dan menjawab adzan (iqomah) adalah perkara yang disyari’atkan. Karena menjaga sholat fardhu dengan waktu-waktunya lebih utama daripada sholat sunnah rawatib yang bisa dimungkinkan untuk diqodho’”. (Syarh Al-’Umdah, hal. 609)

24. Mengangkat Kedua Tangan Untuk Berdo’a Setelah Menunaikan Sholat Rawatib
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Sholat Rawatib: Saya tidak mengetahui adanya larangan dari mengangkat kedua tangan setelah mengerjakannya untuk berdo’a, dikarenakan beramal dengan keumuman dalil (akan disyari’atkan mengangkat tangan ketika berdo’a). Akan tetapi lebih utama untuk tidak melakukannya terus-menerus dalam hal itu (mengangkat tangan), karena tidaklah ada riwayat yang menyebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan demikian, seandainya beliau melakukannya setiap selesai sholat rawatib pasti akan ada riwayat yang dinisbahkan kepada beliau. Padahal para sahabat meriwayatkan seluruh perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan rasulullah baik ketika safar maupun tidak. Bahkan seluruh kehidupan rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radiyallahu ‘anhum tersampaikan”. (Arkanul Islam, hal. 171)

25. Kapan Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu DiJama’?
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Sholat rawatib dikerjakan setelah kedua sholat fardhu dijama’ dan tidak boleh dilakukan di antara keduanya. Dan demikian juga sholat rawatib qobliyah dzuhur dikerjakan sebelum kedua sholat fardhu dijama’”. (Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, 9/31)

26. Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Atau Mendengarkan Nasihat?
Dewan Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Saudi: “Disyariatkan bagi kaum muslimin jika mendapatkan nasihat (kultum) setelah sholat fardhu hendaknya mendengarkannya, kemudian setelahnya ia mengerjakan sholat rawatib seperti ba’diyah dzuhur, maghbrib dan ‘isya” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah LilBuhuts Al-’Alamiyah Wal-Ifta’, 7/234)

27. Mendahulukan Menyempurnakan Dzikir-dzikir setelah Sholat Fardhu Sebelum Menunaikan Sholat Rawatib
As-Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah ditanya: “Apabila saya mengerjakan sholat jenazah setelah maghrib, apakah saya langsung mengerjakan sholat rawatib setelah selesai sholat jenazah ataukah menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian sholat rawatib?

Jawaban beliau rahimahullah: “Yang lebih utama adalah duduk untuk menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian menunaikan sholat rawatib. Maka perkara ini disyariatkan baik ada atau tidaknya sholat jenazah. Maka dzikir-dzikir yang ada setelah sholat fardhu merupakan sunnah yang selayaknya untuk dijaga dan tidak sepantasnya ditinggalkan. Maka jika anda memutus dzikir tersebut karena menunaikan sholat jenazah, maka setelah itu hendaknya menyempurnakan dzikirnya ditempat anda berada, kemudian mengerjakan sholat rawatib yaitu sholat ba’diyah. Hal ini mencakup rawatib ba’diyah dzuhur, maghrib maupun ‘isya dengan mengakhirkan sholat rawatib setelah berdzikir”. (Al-Qoul Al-Mubin fii Ma’rifati Ma Yahummu Al-Mushollin, hal. 471)

28. Tersibukkan Dengan Memuliakan Tamu Dari Meninggalkan Sholat Rawatib
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Pada dasarnya seseorang terkadang mengerjakan amal yang kurang afdhol (utama) kemudian melakukan yang lebih afdhol (yang semestinya didahulukan) dengan adanya sebab. Maka seandainya seseorang tersibukkan dengan memuliakan tamu di saat adanya sholat rawatib, maka memuliakan tamu didahulukan daripada mengerjakan sholat rawatib”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin 16/176)

29. Sholatnya Seorang Pekerja Setelah Sholat Fardhu dengan Rawatib Maupun Sholat Sunnah lainnya.
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun sholat sunnah setelah sholat fardhu yang bukan rawatib maka tidak boleh. Karena waktu yang digunakan saat itu merupakan bagian dari waktu kerja semisal aqad menyewa dan pekerjaan lain. Adapun melakukan sholat rawatib (ba’da sholat fardhu), maka tidak mengapa. Karena itu merupakan hal yang biasa dilakukan dan masih dimaklumi (dibolehkan) oleh atasannya.

30. Apakah Meninggalkan Sholat Rawatib Termasuk Bentuk Kefasikan?
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Perkataan sebagian ulama’: (Sesungguhnya meninggalkan sholat rawatib termasuk fasiq), merupakan perkataan yang kurang baik, bahkan tidak benar. Karena sholat rawatib itu adalah nafilah (sunnah). Maka barangsiapa yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat tidaklah dikatakan fasik bahkan dia adalah seorang mukmin yang baik lagi adil. Dan demikian juga sebagian perkataan Fuqoha’: (Sesungguhnya menjaga sholat rawatib merupakan bagian dari syarat adil dalam persaksian), maka ini adalah perkataan yang lemah. Karena setiap orang yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat maka ia adalah orang yang adil lagi tsiqoh. Akantetapi dari sifat seorang mukmin yang sempurna selayaknya bersegera (bersemangat) untuk mengerjakan sholat rawatib dan perkara-perkara baik lainnya yang sangat banyak dan berlomba-lomba untuk mengerjakannya”. (Majmu’ Fatawa 11/382)

(Yang dimaksud adalah artikel tersebut: http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/14.htm (pen.))
Faedah:
Ibmu Qoyyim rahimahullah berkata: “Terdapat kumpulan sholat-sholat dari tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehari semalam sebanyak 40 rakaat, yaitu dengan menjaga 17 rakaat dari sholat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat dari sholat rawatib, 11 rakaat atau 13 rakaat sholat malam, maka keseluruhannya adalah 40 rakaat. Adapun tambahan sholat selain yang tersebutkan bukanlah sholat rawatib…..maka sudah seharusnyalah bagi seorang hamba untuk senantiasa menegakkan terus-menerus tuntunan ini selamanya hingga menjumpai ajal (maut). Sehingga adakah yang lebih cepat terkabulkannya do’a dan tersegeranya dibukakan pintu bagi orang yang mengetuk sehari semalam sebanyak 40 kali? Allah-lah tempat meminta pertolongan”. (Zadul Ma’ad 1/327)

(taken form :  muslim.or.id)

Menggapai Ridha Allah Dengan Berbakti Kepada Orang Tua

Seorang anak, meskipun telah berkeluarga, tetap wajib berbakti kepada kedua orang tuanya. Kewajiban ini tidaklah gugur bila seseorang telah berkeluarga. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang sudah berkeluarga lalu mereka meninggalkan kewajiban ini. Mengingat pentingnya masalah berbakti kepada kedua orang tua, maka masalah ini perlu dikaji secara khusus.

Jalan yang haq dalam menggapai ridha Allah ‘Azza wa Jalla melalui orang tua adalah birrul walidain. Birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) merupakan salah satu masalah penting dalam Islam. Di dalam Al-Qur’an, setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk berbakti kepada orang tuanya.

Seperti tersurat dalam surat al-Israa' ayat 23-24, Allah Ta’ala berfirman:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ
 
 الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا
 
 قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ
 
 ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” [Al-Israa' : 23-24]

Perintah birrul walidain juga tercantum dalam surat an-Nisaa' ayat 36:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ
 
 وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ
 
 بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ
 
 مُخْتَالًا فَخُورًا

“Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil [1], dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” [An-Nisaa' : 36]

Dalam surat al-‘Ankabuut ayat 8, tercantum larangan mematuhi orang tua yang kafir jika mereka mengajak kepada kekafiran:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ
 
 بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۚ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Al-‘Ankabuut (29): 8] Lihat juga surat Luqman ayat 14-15.

ANJURAN BERBUAT KEPADA KEDUA ORANG TUA BAIK DAN LARANGAN DURHAKA KEPADA KEDUANYA

Yang dimaksud ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada kedua orang tua, yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita dan bila memungkinkan mencegah gangguan kepada keduanya. Menurut Ibnu ‘Athiyah, kita juga wajib mentaati keduanya dalam hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan syari’at), dan harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang (selama tidak melanggar batasan-batasan Allah ‘Azza wa Jalla).

Sedangkan 'uququl walidain adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak terhadap keduanya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh gangguan berupa perkataan, yaitu mengucapkan “ah” atau “cis”, berkata dengan kalimat yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci maki dan lain-lain. Sedangkan yang berupa perbuatan adalah berlaku kasar, seperti memukul dengan tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau menyuruh untuk memenuhi keinginannya, membenci, tidak mempedulikan, tidak bersilaturrahim, atau tidak memberi nafkah kepada kedua orang tuanya yang miskin.

KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA DAN PAHALANYA

1. Merupakan Amal Yang Paling Utama

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata.

سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ
 
 اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا، قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّالْوَالِدَيْنِ، قَالَ: قُلْتُ ثُمَّ
 
 أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

“Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’ [2]

2. Ridha Allah Bergantung Kepada Ridha Orang Tua

Sesuai hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
 
 صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسُخْطُ
 
 الرَّبِّ فِي سُخْطِ الْوَالِدِ

“Darii ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua” [3]

3. Berbakti Kepada Orang Tua Dapat Menghilangkan Kesulitan Yang Sedang Dialami

Yaitu, dengan cara bertawassul dengan amal shalih tersebut. Dalilnya adalah hadits riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma mengenai kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, dan salah seorangnya bertawassul dengan bakti kepada ibu bapaknya.

Haditsnya sebagai berikut:

انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوُا الْمَبِيْتَ إِلَى غَارٍ

فَدَخَلُوْهُ، فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهَا الْغَارَ. فَقَالُوْا
 
 إِنَّهُ لاَيُنْجِيْكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ تَدْعُوْا اللهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ
 
 فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ: اَللَّهُمَّ كَانَ لِي أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ وَكُنْتُ أَغْبِقُ
 
 قَبْلَ هُمَا أَهْلاً وَ لاَ مَالاً، فَنَأَى بِي فِي طَلَبِ شَيْئٍ يَوْمًا فَلَمْ أُرِحْ
 
 عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَ فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوْقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ. فَكَرِهْتُ
 
 أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً أَوْمَالاً، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَيَّ أَنْتَظِرُ
 
 اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا. اَللَّهُمَّ إِنْ
 
 كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ مِنْ هَذِه
 
 الصَّخْرَةِ، فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا

“ ...Pada suatu hari tiga orang dari ummat sebelum kalian sedang berjalan, lalu kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi mulut gua. Sebagian mereka berkata kepada yang lain: ‘Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan.’ Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawassul melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu di antara mereka berkata: ‘Ya Allah, sesung-guhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia sedangkan aku mempunyai isteri dan anak-anak yang masih kecil. Aku menggembala kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang sudah larut malam dan aku dapati orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku mendatangi keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku tidak akan memberikan kepada siapa pun sebelum susu yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan kepada anak-anakku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah mulut gua ini.’ Maka batu yang menutupi pintu gua itu pun bergeser sedikit..”[4]

4. Akan Diluaskan Rizki Dan Dipanjangkan Umur

Sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan di-panjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyam-bung silaturrahimnya.” [5]

Dalam silaturahmi, yang harus didahulukan adalah silaturahmi kepada orang tua sebelum kepada yang lain. Banyak di antara saudara-saudara kita yang sering berkunjung kepada teman-temannya, tetapi kepada orang tuanya sendiri jarang, bahkan tidak pernah. Padahal ketika masih kecil, dia selalu bersama orang tuanya. Sesulit apa pun harus tetap diusahakan untuk bersilaturahmi kepada kedua orang tua, karena dekat kepada keduanya -insya Allah- akan dimudahkan rizki dan dipanjangkan umurnya.

5. Akan Dimasukkan Ke Surga Oleh Allah ‘Azza wa Jalla

Berbuat baik kepada orang tua dan taat kepada keduanya dalam kebaikan merupakan jalan menuju Surga. Sedangkan durhaka kepada orang tua akan mengakibatkan seorang anak tidak masuk Surga. Dan di antara dosa-dosa yang Allah ‘Azza wa Jalla segerakan adzabnya di dunia adalah berbuat zhalim dan durhaka kepada orang tua. Dengan demikian, jika seorang anak berbuat baik kepada orang tuanya, Allah akan meng-hindarkannya dari berbagai malapetaka, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla dan akan dimasukkan ke Surga.

BENTUK-BENTUK DURHAKA KEPADA KEDUA ORANG TUA

1. Menimbulkan gangguan terhadap orang tua, baik berupa perkataan atau pun perbuatan yang mem-buat orang tua sedih atau sakit hati.

2. Berkata “ah” atau “cis” dan tidak memenuhi pang-gilan orang tua.

3. Membentak atau menghardik orang tua.

4. Bakhil atau kikir, tidak mengurus orang tuanya, bahkan lebih mementingkan yang lain daripada mengurus orang tuanya, padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan.

5. Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, “kolot”, dan lain-lain.

6. Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua dan lemah. Tetapi, jika si ibu melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri, maka tidaklah mengapa, dan karena itu seorang anak harus berterima kasih dan membantu orang tua.

7. Menyebut kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.

8. Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah, misalnya alat musik, mengisap rokok, dan lain-lain.

9. Lebih mentaati isteri daripada kedua orang tua. Bahkan ada sebagian orang yang tega mengusir ibunya demi menuruti kemauan isterinya.

Nas-alullaahas salaamah wal ‘aafiyah

10. Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggal ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam itu adalah sikap yang sangat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.

BENTUK-BENTUK BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

1. Bergaul bersama keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberi kegembiraan kepada seseorang mukmin termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberi kegembiraan kepada orang tua kita

2. Berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan adab ber-bicara antara kepada kedua orang tua dengan ke-pada anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua.

3. Tawadhu’ (rendah hati). Tidak boleh kibr (som-bong) apabila sudah meraih sukses atau memenuhi jabatan di dunia, karena sewaktu lahir, kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan, kita diberi makan, minum, dan pakaian oleh orang tua.

4. Memberi infaq (shadaqah) kepada kedua orang tua, karena pada hakikatnya semua harta kita adalah milik orang tua. Oleh karena itu berikanlah harta itu kepada kedua orang tua, baik ketika mereka minta ataupun tidak.

5 . Mendo’akan kedua orang tua. Di antaranya dengan do’a berikut:

رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا

“Wahai Rabb-ku, kasihilah keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu kecil.”

Seandainya orang tua masih berbuat syirik serta bid’ah, kita tetap harus berlaku lemah lembut kepada keduanya, dengan harapan agar keduanya kembali kepada Tauhid dan Sunnah. Bagaimana pun, syirik dan bid’ah adalah sebesar-besar kemungkaran, maka kita harus mencegahnya semampu kita dengan dasar ilmu, lemah lembut dan kesabaran. Sambil terus berdo’a siang dan malam agar orang tua kita diberi petunjuk ke jalan yang benar.

APABILA KEDUA ORANG TUA TELAH MENINGGAL

Maka yang harus kita lakukan adalah:

1. Meminta ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan taubat nashuha (jujur) bila kita pernah berbuat dur-haka kepada keduanya di waktu mereka masih hidup.

2. Menshalatkannya dan mengantarkan jenazahnya ke kubur.

3. Selalu memintakan ampunan untuk keduanya.

4. Membayarkan hutang-hutangnya.

5. Melaksanakan wasiat sesuai dengan syari’at.

6. Menyambung silaturrahim kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya.

Semoga dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam tersebut, kita dimudahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Aamiin.

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, , Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]

_______
Footnote

[1]. Ibnu sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan maksiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu-bapaknya.

[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim dalam Kitabul Iman (no. 85), an-Nasa-i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), ad-Darimi (I/278), Ahmad (I/351, 409, 410, 439).

[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 2), Ibnu Hibban (no. 2026 al-Mawaarid), at-Tirmidzi (no. 1899), al-Hakim (IV/151-152), ia menshahihkan atas syarat Muslim dan adz-Dzahabi menyetujuinya. Syaikh al-Albani rahimahullaah mengatakan hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua (al-Hakim dan adz-Dzahabi). Lihat Shahiih Adabul Mufrad (no. 2).

[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2272), Fathul Baari (IV/449), Muslim (no. 2743), dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.

[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5985, 5986), Muslim (no. 2557), Abu Dawud (no. 1693), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.


Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
http://almanhaj.or.id

Apakah wajib mendirikan Khilafah Islamiyah? Kalau Wajib, Mengapa Tidak Masuk Dalam Rukun Islam yang 5? (Bagian ke-2)

Tinjauan Al Qur’an, Hadis dan Realita Sejarah
Penjelasan masalah ini bisa kita temukan dengan gamblang dalam Al Qur’an, Hadis, dan sejarah. Jika diantara kita ada yang merasa sulit untuk diajak menjawab masalah ini dengan Al Qur’an dan Al Hadis berdasarkan metode pemahaman ulama masa silam, mungkin bisa mempelajari REALITA SEJARAH kaum muslimin. Mudah-mudahan itu bisa memberikan jawaban yang menenangkan. Mengingat keterbatasan tempat, berikut hanya akan diberikan jawaban ringkas dan sederhana. Kami berharap semoga Allah menjadikannya bermanfaat.

Pertama, tinjauan dalil Al Qur’an
Tujuan utama Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul, dan Menurunkan kitab-kitabNya

Allah berfirman, yang artinya: “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS. Adz Dzariyat: 56).

Allah berfirman yang artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwa tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku. Maka sembahlah Aku!” (QS. Al Anbiya’: 25).

Allah juga berfirman: “Inilah satu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Agar kamu tidak menyembah selain Allah…” (QS. Hud: 1-2).

Ibadah yang dilakukan oleh manusia tidak bisa dinamakan ibadah kepada Allah kecuali dengan meninggalkan pembatal-pembatal ibadah. Diantaranya adalah kesyirikan. Artinya, Ketika beribadah manusia dituntut untuk mentauhidkan Allah. Sebagaimana shalat tidak bisa disebut shalat keculai jika bersih dari pembatal shalat. Oleh karena itu, makna kata ibadah dalam ayat ini adalah adalah tauhid. Karena hakekat ibadah adalah menatuhidkan Allah dalam setiap menjalakan perintah dan larangan.

Khilafah adalah hadiah dari Allah bagi setiap orang yang bertauhid
Allah berfirman yang artinya: “Dan Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal sholeh bahwa Allah sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi (baca: mewujudkan khilafah) sebagaimana Allah telah memberikan kekuasaan kepada orang-orang sebelum kalian. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Dia ridhoi untuk mereka (Islam), dan Dia sungguh akan mengganti keadaan mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman. Mereka beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu apappun.” (QS. An Nur: 55).

Dalam tafsir Al Jalain dijelaskan bahwa Allah telah mewujudkan janjiNya kepada kaum muslimin (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat) dan Allah memuji mereka dengan firmanNya di akhir ayat di atas: “Mereka beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu apapun.” Maka ayat ini berstatus sebagai alasan kenapa Allah memberikan kekuasaan kepada mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat).

Oleh karena itu, secara urutan manusia dituntut untuk menegakkan tauhid terlebih dahulu barulah kemudian Allah memberikan hadiah kepada kaum muslimin dengan diwujudkannya kekuasaan (khilafah) bagi mereka. Bukan sebaliknya, khilafah dulu baru semua penyimpangan diselesaikan. Karena sebagaimana yang dijelaskan dalam tafsir di atas bahwa tauhid merupakan syarat mutlak suatu kaum itu mendapatkan khilafah. Dan demikianlah realita yang terjadi pada dakwahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah belasan tahun beliau mengajak umat kepada tauhid barulah Allah memberikan kekuasaan kepada beliau dan para sahabat tepatnya setelah mereka hijrah ke madinah.

Kedua, tinjauan dari dalil hadis
Oleh karena itu, dalam sejarah dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tercatat bahwa beliau hanya mengajak umat untuk tunduk dan taat kepada Allah terutama tauhid. Tidak pernah sedikitpun mengajak umat untuk mendirikan daulah islam. Bahkan sebaliknya, beliau menolak semua tawaran orang-orang musyrikin Quraisy untuk menjadi raja Mekkah. Karena tujuan utama beliau bukanlah mencari kekuasaan namun mengajak manusia untuk memurnikan tauhid kepada Allah. Dan demikianlah keadaan dakwah para rasul ‘alaihim as sholatu was salam mereka tidaklah hadir di masyarakatnya untuk memusnahkan daulah yang berkuasa di sana kemudian membangun daulah yang baru. Mereka tidak menuntut untuk dijadikan raja maupun penguasa. Namun mereka datang dengan membawa hidayah bagi umat manusia, menyelamatkan mereka dari kesesatan dan kemusyrikan.

Bahkan beliau sendiri pernah ditawari oleh Rabnya (Allah ta’ala) dan diberi pilihan antara menjadi seorang rasul sekaligus raja ataukah menjadi seorang rasul yang statusnya hanya hamba biasa. Kemudian beliau memilih untuk menjadi rasul yang statusnya hanya hamba biasa. (sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Al Bukhari & Muslim). Andaikan obsesi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menegakkan khilafah di muka bumi ini maka tentu beliau akan memenuhi tawaran orang kafir Quraisy atau bahkan tawaran Allah ta’ala untuk menjadi penguasa jazirah arab baru kemudian mendakwahkan tauhid. Ini menunjukkan bahwa sedikitpun beliau tidak berobsesi untuk menegakkan kekuasaan, namun obsesi beliau hanya satu, yaitu mengajak umat untuk berislam dengan mentauhidkan Allah sepenuhnya.

Ketiga, bukti sejarah bahwa kekuasaan bukanlah jaminan kemenangan
Sekali lagi, kita tidak menolak sejarah. Jika itu realita maka kita terima sepenuhnya. Berikut kami sisipkan beberapa realita sejarah bahwa kekuasaan tidaklah menjamin diterimanya dakwah.

Pertama, kisah raja Romawi yang sezaman dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, raja Heraklius. Disebutkan dalam shahih Al Bukhari hadis ke-7 di Bab “Bad’ul wahyi” bahwa setelah raja Heraklius menerima surat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia paham betul bahwa beliau adalah Nabi akhir zaman setelah berdialog dengan salah satu orang Quraisy (Abu Sufyan) yang berdagang ke Syam dan membandingkannya dengan apa yang ada di injil. Kemudian Heraklius memerintahkan para pembesar-pembesar Romawi untuk berkumpul di Daskarah (istana yang dikelilingi benteng) yang berada di kota Hims. Setelah semuanya masuk, dia perintahkan untuk menutup semua pintu istana.

Kemudian Raja Nasrani ini berpidato: “Wahai masyarakat Romawi, siapa yang ingin mendapatkan kejayaan, kebenaran, dan kerajaan yang kokoh maka hendaknya dia membai’at Nabi ini.” Tiba-tiba para hadirin bubar berlarian seperti keledai liar menuju pintu-pintu istana. Namun ternyata semuanya tertutup. Setelah Heraklius melihat mereka pada berlarian dan dia putus untuk bisa mengajak mereka beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, raja ini meminta agar mereka berkumpul kembali. Kemudian dia berpidato: “Apa yang aku katakan barusan sesungguhnya hanyalah untuk menguji komitmen kalian terhadap agama kalian (nasrani).” Kemudian para hadirin bersujud pada Heraklius dan mau menerima keputusannya. Dan inilah akhir keadaan Heraklius.

Kedua, kisah raja Najasyi sang penguasa negeri Habasyah. Disebutkan dalam buku-buku siroh nabawiyah bahwa setelah Raja Najasyi mendengar keterangan tentang dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendengar bacaan surat Maryam yang disampaikan oleh Ja’far (salah satu sahabat yang berhijrah ke Habasyah), beliau menangis dan masuk Islam. Hanya saja Raja yang adil ini menyembunyikan Islamnya di hadapan para uskup-uskupnya. Oleh karena itu, Allah ta’ala tidak memerintahkan NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Para ahli sejarah menjelaskan analisis hal tersebut disebabkan:

a) Posisi rijaluddin (tokoh agama) nasrani yang cukup kuat dalam pemerintahan. Keadaan ini selanjutnya membuat mereka mampu menghalangi dakwah islam di tengah masyarakat Habasyah

b) Raja Najasyi, meskipun beliau itu raja yang adil dan telah masuk islam, namun beliau tidak mampu menunjukkan secara terang-terangan kepada rakyatnya bahwa beliau telah meninggalkan nasrani. Ini menunjukkan kelemahan hukumnya. Sehingga setinggi apapun posisinya tidak mampu mengubah Habasyah menjadi daulah islamiyah. (lih. Siroh Nabawiyah jilid I, Mediu)

Demikianlah pelajaran berharga dari keadaan dua raja tersebut. Kekuasaannya tidak mampu menampakkan aqidahnya. Berbeda dengan Fir’aun. Sebab utama dia mampu menguasai kaumnya disebutkan oleh Allah dalam firmannya, yang artinya: “dia menakut-nakuti kaumnya, sehingga mereka mentaati Fir’aun..” (QS. Zukhruf: 54). Disebutkan dalam tafsir Jalalain bahwasanya Fir’aun menginginkan agar rakyatnya mendustakan Musa dengan menakut-nakuti mereka. Kemudian mereka-pun taat kepada Fir’aun. Mari kita bandingkan antara dua kasus di atas. Raja Najasyi dan Kaisar Romawi tidak mampu memaksakan aqidahnya karena sebelumnya dia tidak menyiapkan keadaan hati rakyatnya untuk menerima islam. Berbeda dengan Fir’aun, dia berhasil menguasai rakyatnya dan memaksa mereka untuk mewujudkan keinginannya setelah sebelumnya dia menyiapkan keadaan hati rakyatnya agar meyakini bahwa tujuan Musa adalah mengusir kalian dari Mesir.

Bisakah kita bayangkan, ketika Allah mewujudkan khilafah bagi kaum muslimin, sementara kebanyakan mereka tidak paham syariat islam. Mungkinkah mereka akan menerima aturan syariat yang ditetapkan oleh khilafah? Mungkin bisa kita pastikan; yang ada hanyalah kudeta. Bisa jadi ketika khalifah ingin menghilangkan kesyirikan, kemaksiatan, dan kebid’ahan, namun justru para pemuja kesyirikan, bid’ah dan maksiat akan melawan. Dengan kekuatan apa khilafah akan memaksa, sementara kelompok mereka (pemuja syirik, bid’ah dan maksiat) jauh lebih banyak dibandingkan mereka yang memahami syariat. Atau… mungkin dengan alternatif yang kedua.

Sistem Khilafah membiarkan sepenuhnya setiap kegiatan keagamaan rakyatnya meskipun itu sarat dengan syirik, khurafat, dan bid’ah. Karena yang penting rakyat bisa tenang, sehingga bersama-sama rakyat bisa menggulingkan kekuasaan hegemoni orang yahudi & nasrani. Membiarkan rakyatnya bergelimang dengan kesyirikan selama hukum hudud (seperti potong tangan, qisos, cambuk, dst.) ditegakkan? Demikiankah sistem khilafah yang diinginkan? Dengan tegas kita katakan: “Sistem ini bukan sistem khilafah islam!!!” ini sistem khilafah syirkiyah bukan islamiyah. Belum lagi ketika khilafah ini berdiri, sementara banyak masyarakat masih ambisi untuk meraih jabatan… apa yang terjadi? Tidak lain adalah perebutan kekuasaan.. dari mana kaum muslimin bisa bersatu.

Lalu mana yang lebih penting… berdakwah mengajak umat untuk membenahi agama mereka dengan menyempurnakan tauhid mereka masing-masing, ataukah… mengajak semua elemen untuk menegakkan khilafah tanpa peduli bagaimana aqidah mereka? Jika tujuannya untuk memahamkan rakyat dengan syariat maka harusnya yang pertama kali dilakukan adalah mendahulukan mengajarkan syariat islam sebelum mengajarkan fiqih politik. Kita mengkhawatirkan, jangan-jangan obsesi menggalang umat untuk mewujudkan khilafah ini hanyalah akan menjadi angan-angan belaka yang tidak mungkin terwujudkan selama kita membiarkan umat islam masih bergelimang dengan syirik, bid’ah dan maksiat. Mari kita renungkan perkataan para ulama:

“Siapa yang menginginkan sesuatu sebelum waktunya maka dia dihukum dengan tidak mendapatkannya”

Bahaya Sikap Lebih Mengutamakan Penegakan Khilafah Di Atas Lainnya
Ada beberapa konsekwensi negatif ketika seseorang itu berlebih-lebihan terhadap khilafah. Diantaranya:
Menganggap semua oknum yang tidak memiliki andil dalam penegakan khilafah sebagai orang sesat. Jika dia mati maka mati dalam keadaan membawa aqidah jahiliyah. Atau dengan bahasa yang lebih kasar, mati kafir. Diantara dalil yang digunakan untuk menguatkan anggapan ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang berpisah dari jama’ah (mereka maknai dengan khilafah) maka dia mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyah.” (HR. Al Bukhari). Karenanya siapa saja yang tidak mau gabung dengan khilafah, atau tidak ikut andil dalam menegakkan khilafah (karena khilafah belum berdiri) maka dia mati seperti matinya orang jahiliyah. Yang benar, hadis ini sama sekali tidak menunjukkan makna di atas. Karena yang dimaksud keluar dari jamaah adalah memberontak kepala negara kaum muslimin yang sah. Sedangkan yang dimaksud mati jahiliyah adalah mati dalam keadaan bermaksiat bukan mati kafir. (lih. Fathul Bari 20/58).

Meremehkan dosa besar atau bahkan kekafiran. Setelah Khumaini berhasil memberangus rezim Reza Pahlevi, datanglah beberapa utusan dari kelompok yang gemar memprioritaskan khilafah untuk menemui Khumaini dan menawarkan penegakan khilafah kepadanya. (lih. Majalah Al Khilafah At Tahririyah, edisi 18 bulan Agustus 1989). Disamping itu, kelompok ini juga sempat memuji tulisan Al Khumaini yang berjudul Al Hukumah Al Islamiyah, dimana pada tulisan ini ditegaskan Khumaini bahwa Imam (Khalafah) itu lebih utama dibandingkan malaikat atau para nabi. (lih. Majalah Al Wa’i At Tahririyah edisi 26, tahun ke-3 Dzul Qo’dah 1409). Padahal para ulama telah menyatakan kafirnya orang yang beranggapan: “para imam lebih utama dibandingkan para nabi.” (lih. Pernyataan Syaikhul Islam dan beberapa ulama lainnya sebagaimana disebutkan oleh Ibn Hajar Al Haitami dalam Al I’lam bi Qowathi’il Islam).

Ditambah lagi keadaan orang-orang syi’ah yang mencela para sahabat, menghina para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengkultuskan ahli bait, menyimpangkan Al Qur’an dan beberapa penyelewengan syi’ah yang keterlaluan lainnya, bagi kelompok khilafah itu bukan masalah besar. Itu masalah kecil dalam pandangan mereka jika dibandingkan dengan masalah penegakan khilafah. Bukankah ini berarti merelakan untuk mengorbankan aqidah yang benar demi tegak dan kembalinya khilafah.

Menganggap ajaran agama terbagi dua; bagian inti dan kulit. Kenyataan lain ketika terlalu ambisi terhadap khilafah. Mereka menggolongkan ke dalam dua golongan. Bagian inti dan kulit. Setiap masalah penting bagi mereka digolongkan sebagai inti agama, sementara masalah yang kurang penting bagi mereka digolongkan bagian kulit, meskipun hakikatnya itu dosa besar. Akibatnya, ketika diingatkan bahaya bid’ah, atau ancaman untuk orang-orang yang celananya menyelisihi syariat, atau masalah wanita terjun ke jalan, mereka menganggap itu masalah kurang penting. Karena lebih penting menjaga perasaan masyarakat agar mau menerima dakwah mereka ketimbang mengingatkan mereka yang justru membuat mereka lari.

Munculnya obsesi kekuasaan sehingga tega untuk mencela ulama. Setelah mereka terkesima dengan sejarah khilafah daulah Utsmaniyah, mereka merasa terpukul berat dengan runtuhnya daulah ini. Sehingga tidak heran, ada sebagian di antara mereka yang memperingati tanggal mulai runtuhnya daulah Utsmaniyah dalam rangka mengenang sejarah berakhirnya khilafah bagi mereka. Sayangnya, kesedihan ini membuahkan satu sikap yang kurang tepat. Setelah meruntut sekian penyebab runtuhnya daulah Utsmaniyah mereka berkesimpulan bahwa salah sebab runtuhnya daulah ini adalah dakwah tauhid yang digencarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang bekerja sama dengan inggris. Abdul Qodim Zalum mengatakan: “Sesungguhnya tentara inggris telah membantu mereka (dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) dengan senjata dan harta untuk membangun asaa madzhab, mereka menginginkan untuk menguasai Karbala dan kuburan Al Hasan. Dan ketika kota Madinah sudah jatuh ke tangan mereka, mereka hendak merobohkan kubah besar yang menaungi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam… dan masalah ini telah banyak diketahui, bahwa penyebab semua ini adalah Wahabiyah, anteknya inggris.” (lih. Kaifa Hudimat Al Khilafah hal. 10-12 karya Abdul Qodim Zalum, cet. 1962).

Perkataan Salah Satu Tokoh Pergerakan
Berikut perkataan salah satu tokoh da’i pergerakan, yang kebanyakan pengikutnya mendambakan tegaknya khilafah. Dalam kesempatan kajian di Darul Hadis di Mekkah, beliau juga pernah ditanya:

Isi pertanyaan: Sebagian mengatakan bahwa islam akan kembali jaya dengan hakimiyah (khilafah), sebagian yang lain mengatakan islam akan kembali jaya melalui jalur pelurusan aqidah dan tarbiyah jamaah. Manakah yang benar?

Beliau menjawab: “Dari manakah datangnya kekuasaan (khilafah) agama ini di muka bumi jika tidak ada da’i-da’i yang mengajak untuk meluruskan aqidah dan beriman dengan iman yang benar. Kemudian mereka diuji dalam beragama dan mereka bersabar, mereka juga berjihad di jalan Allah. Kemudian hukum agama Allah akan ditegakkan di bumi. Satu permasalahan yang sangat jelas sekali. Hakim (Khalifah) tidaklah datang dari langit, tidak pula turun dari langit. Segala sesuatu datang dari langit namun dengan usaha keras manusia. Allah tetapkan hal ini untuk manusia. Allah berfirman yang artinya: “Andaikan Allah menghendaki Allah akan menolong kalian dari (kejahatan) mereka (orang kafir). Namun Allah menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain..” (QS. Muhammad: 4). Maka wajib kita awali dengan meluruskan aqidah dan mendidik generasi dengan aqidah yang benar. Generasi yang akan diuji kemudian mereka mampu bersabar atas ujian, sebagaimana bersabarnya generasi yang pertama.” (Dikutip dari kitab: Minhaj Al Firqoh An Najiyah karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).

Terakhir kami akhiri tulisan ini dengan kutipan pidato salah satu da’i pergerakan internasional. Perkataan ini kami letakkan di akhir tulisan ini dengan harapan bisa menjadi kesimpulan bagi pembahasan di atas. Kami hanya bisa mengharapkan, andaikan pengikut beliau menuruti apa yang beliau sampaikan.

“Tegakkanlah daulah islam di hati kalian masing-masing, niscaya daulah ini akan tegak di bumi kalian”


Oleh: Ammi Nur Baits

http://buletin.muslim.or.id

Apakah Wajib Mendirikan Khilafah Islamiyah? Kalau Wajib, Mengapa Tidak Masuk Dalam Rukun Islam Yang 5? (Bagian ke-1)

Tauhid Dulu, Ataukah Khilafah?

Khilafah adalah cita-cita yang didambakan oleh seluruh kaum muslimin, lebih-lebih bagi mereka yang menjadi aktivis dakwah. Khilafah merupakan hadiah yang Allah persembahkan bagi umat ini setelah mereka berusaha untuk meniti kebenaran. Karenanya, kami ingatkan tulisan ini hanyalah sekelumit usaha untuk mewujudkan cita-cita munculnya khilafah. Tulisan ini bukanlah upaya untuk memecah belah persatuan kaum muslimin. Tulisan ini hanyalah sebatas nasehat antar sesama muslim yang mencita-citakan kesatuan dan persatuan kaum muslimin di atas kebenaran.

Kelompok yang Pertama Kali Menjadikan Khilafah Sebagai Prinsip Dakwah
Syaikh DR. Shalih bin Sa’ad As Suhaimi pernah ditanya tentang prinsip dakwah imamah (khilafah) dalam kesempatan dauroh bulan Juli 2008 di Mojokerto. Beliau menjawab:

“Imamah atau khilafah, yang pertama kali menjadikannya sebagai prinsip adalah kelompok Syi’ah dan Mu’tazilah. Imamah memang diharapkan. Setiap muslim berkeinginan agar kaum muslimin berada di bawah satu bendera dan satu khalifah. Namun keadaan ini (kaum muslimin di atas satu khilafah) sedah berakhir sejak masa Khulafa’ur rasyidun atau sejak keluarnya Abdur Rahman Ad Dakhil dari kekhalifahan Abbasiyah….” (dikutip dari Majalah Adz Dzakhiirah edisi 42 tahun 1429 H).

Orang-orang syi’ah menjadikan Imamah (kekhalifahan) sebagai salah satu rukun iman mereka. Berikut adalah kutipan perkataan tokoh-tokoh syi’ah:

Muhammad Ridlo al Mudhofar Ar Rofidhi mengatakan: “Kami berkeyakinan bahwasanya imamah adalah salah satu asas agama. Keimanan tidak sempurna kecuali dengan memiliki keyakinan tersebut…” (dikutip dari Madkhol Ila al aqidah al islamiyah)

Ibnul Muthohir al Hully dalam muqodimah kitabnya yang berjudul Minhajul Karomah mengatakan: “Amma ba’du, ini adalah risalah dan makalah yang mulia, yang berisi tentang pembahasan paling penting dalam masalah agama dan permasalahan paling utama bagi kaum muslimin; yaitu masalah imamah, dengan imamah bisa didapatkan derajat kemuliaan. Imamah adalah salah satu rukun iman. (Minhajul Karomah 1/20, sebagaimana dinukil oleh Syaikh Rabi’ dalam Manhajul Anbiya fi Da’wah).

Bahkan sebagian mereka beranggapan lebih jauh dari pada perkataan tokoh sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa imamah lebih penting dari pada masalah Nubuwah (kenabian). Salah satu tokoh dan ulama mereka di zaman ini, Hadi At Thohroni mengatakan: “Imamah itu lebih mulia dibandingkan nubuwah. Karena imamah adalah tingkatan ketiga yang dengannya Allah memuliakan Ibrohim setelah (seblumnya) mengalami derajat Nubuwah dan Al Khullah. (dikutip dari Madkhol Ila al aqidah al islamiyah).

Yang dimaksud Nubuwah adalah diangkatnya seseorang menjadi nabi. Sedangkan yang dimaksud Imamah adalah diangkatnya seseorang menjadi imam atau pemimpin. Dan yang dimaksud Al Khullah adalah diangkatnya seseorang menjadi kekasih terdekatnya Allah. Maksud perkataan Hadi At Thohroni adalah derajat diangkatnya seseorang menjadi imam atau pemimpin itu lebih mulia dari pada status diangkatnya seseorang menjadi nabi. Karena menjadi imam itu tingkatannya paling tinggi, yang di bawahnya ada tingkatan al khullah dan di bawahnya lagi baru tingkatan kenabian.

Hal yang senada juga pernah disampaikan oleh Abul A’la Al Maududi salah satu tokoh pergerakan di timur tengah. Beliau mengatakan: “Hakekat tujuan beragama adalah menegakkan aturan imamah yang baik dan lurus.” (Al Ushul Al Akhlaqiyah).

Alasan Mereka yang Gemar Meneriakkan Tegaknya Khilafah
Berikut kami sisipkan kutipan pendapat dan alasan mereka untuk menegakkan khilafah. Diambil dari salah satu makalah yang diterbitkan di situs mereka.

“Menegakkan Khilafah dan menunjuk seorang Khalifah adalah kewajiban bagi setiap Muslim di seluruh dunia, lelaki dan perempuan. Melaksanakan kewajiban ini sama saja seperti menjalankan kewajiban lain yang telah Allah Swt perintahkan kepada kita, tanpa boleh merasa puas kepada diri sendiri. Khilafah adalah persoalan vital bagi kaum Muslim.” (lih. Apa itu Khilafah?)

“Penderitaan dan kesengsaraan dunia yang dihasilkan dari negara-negara kapitalis, khususnya AS, tidak akan lenyap kecuali dengan tegaknya negara Khilafah yang akan menerapkan ideology yang haq, yaitu Islam yang agung yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamin.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.105)

“kita telah mengetahui bahwa umat Islam akan segera kembali menjadi negara adidaya, yaitu dalam Khilafah Rasyidah.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.122)

“Masalah Timur Tengah ini tidak akan pernah dapat diselesaikan kecuali dengan berdirinya negara Khilafah Islam.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.135)

“Maka itu, keburukan yang telah mencengkeram dunia selama berabad-abad itu haruslah dibatasi. Harus pula diwujudkan sebuah negara yang mampu membatasi keburukan itu, yaitu negara Khilafah Islamiyah.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.222)

Jika boleh disimpulkan, maka bisa ditarik satu benang merah bahwa tujuan utama kelompok ini dalam mendakwahkan tegaknya khilafah adalah menyelesaikan masalah umat. Karena bagi mereka, hanya dengan khilafah semata semua permasalahan umat ini bisa selesai. Setelah kaum muslimin berhasil mendirikan khilafah barulah mereka secara bersama-sama berdakwah menegakkan keadilan dan memerangi kedzaliman di muka bumi ini. Dakwah mengajak orang untuk mentauhidkan Allah baru diutamakan setelah tegaknya khilafah.

Tidak ada satupun orang yang menganggap jelek tujuan ini. Bisa dikatakan semua orang akan sepakat dengan tujuan yang indah dan mulia ini. Memperjuangkan kesejahteraan umat merupakan satu tekad yang mulia. Namun…ada yang perlu dijadikan bahan diskusi, benarkah bahwa khilafah adalah satu-satunya solusi bagi permasalahan umat. Sehingga hampir semua masalah umat hanya diberi satu jawaban “SEMUA INI BISA SELESAI HANYA DENGAN KHILAFAH”..?? (lih. Judul Bulettin Al Islam ketika memberikan jawaban atas kasus Gaza dua bulan yang lalu).

Jalan Menuju Kejayaan Umat Hanya Satu
Banyak jalan menuju mekkah. Demikian anggapan sebagian orang. Karena prinsip ini, sebagian orang acuh terhadap berbagai fenomena perselisihan yang terjadi di kalangan kaum muslimin. Selama niatnya baik dan ada tekad untuk memperjuangkan islam, apapun caranya, semuanya tak jadi masalah. Mari sejenak kita renungkan. Kita meyakini bahwasanya Allah tidaklah menurunkan syariat ini baik yang penting maupun yang paling penting kecuali semuanya merupakan solusi terbaik bagi umat manusia untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka semua yang Dia ajarkan, baik melalui Al Qur’an maupun contoh perbuatan NabiNya merupakan jalan utama untuk menggapai kejayaan umat. Dengan kata lain, siapapun yang mengharapkan kejayaan umat namun dia memilih jalan yang tidak diajarkan oleh Allah dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bisa dipastikan harapannya tidak akan tercapai. 

Disebutkan dalam hadis Ibn Mas’ud ketika menceritakan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membuat satu garis lurus, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan Allah”. Setelah itu, beliau membuat beberapa garis cabang di sebelah kanan dan kiri garis lurus, kemudian beliau bersabda: “Ini ada banyak jalan, pada masing-masing jalan ada setan yang mengajak untuk menuju jalan tersebut.” Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah di surat Al An’am 153, yang artinya: “Inilah jalanku yang lurus, ikutilah. Janganlah kamu mengikuti banyak jalan cabang, karena kalian akan berpecah dari jalanya.” (HR. Ahmad dan dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Berdasarkan riwayat ini bisa kita tegaskan jalan yang benar menuju kejayaan HANYA SATU.

Antara Al Qur’an, Hadis dan Sejarah
Seringkali orang yang berprinsip khilafah sebagai prioritas utama ketika menjelaskan pentingnya khilafah mereka menunjukkan bukti-bukti sejarah. Terutama sejarah khilafah Utsmaniyah yang runtuh pada abad ke-18 M. Berikut beberapa klaim mereka tentang sejarah kemenangan khilafah:
“Daulah Utsmaniyah, sebagai Negara Khilafah Islamiyah, pernah menjadi negara pertama hampir tiga abad lamanya, tanpa satu pesaing pun untuk kedudukannya hingga pertengahan abad ke-18 M.” (Mafahim Siayasiyah li…hal.34)

“Daulah Utsmaniyah telah membangkitkan kengerian di semua orang Kristen Eropa dan terwujud suatu kebiasaan umum di kalangan Kristen bahwa pasukan Islam itu tidak terkalahkan,” (Mafahim Siayasiyah li…hal.45)

“Ringkasnya, kondisi berbagai negara di dunia yang mengalami perubahan adalah sebagai berikut: Dunia pada masa lampau didominasi oleh Daulah Utsmaniyah, Prusia, Rusia, Austria, Inggris, dan Perancis. Negara-negara inilah yang dahulu mengendalikan berbagai urusan dunia, mengancam perdamaian, dan memutuskan perang.” (Mafahim Siayasiyah li…hal. 71)

Meskipun kutipan di atas diakui belum mewakili keseluruhan, namun penulis menyimpulkan, setelah membaca buku Mafahim Siayasiyah li.. bahwa terkesan mereka lebih menonjolkan bukti-bukti sejarah untuk mendukung prinsip mereka. Jika begitu hebatnya sejarah untuk dijadikan bukti mutlak prioritas khilafah, di manakah porsi Al Qur’an dan As Sunnah? Bukankah prinsip dakwah adalah bagian yang sangat vital dalam islam? Lalu mungkinkah penjelasan Al Qur’an dan Hadis tentang ini kurang mencukupi, sehingga kita harus beralih pada klaim sejarah? Jangan sampai kita bersikap apriori dan menutup mata terhadp kajian Al Qur’an dan Hadis dalam menentukan jawaban. 
Kita memiliki koridor baku yang ditetapkan dalam Al Qur’an dan Hadis. Semata klaim sejarah belum cukup. Sebagaimana penjelasan ahli sejarah bahwasanya sejarah belum tentu sesuai fakta. Sejarah bukanlah realita. Klaim sejarah bisa dimanipulasi berdasarkan sudut pandang masing-masing pengamat. Karenanya, kesimpulan sejarah banyak dilatar belakangi dengan berbagai kepentingan. Kita tidak menutup mata atas kebaikan daulah Utsmaniyah yang telah menaklukkan beberapa negeri kafir. Bagi pengamat yang dilatar belakangi obsesi khilafah mengatakan bahwa daulah Utsmaniyah merupakan khilafah islamiyah yang terakhir runtuh. Namun bagi pengamat lainnya khilafah islamiyah al udzma sudah berakhir sejak keluarnya Abdur Rahman Ad Dakhil dari kekhalifahan Abbasiyah. Karena sejak saat itu kekuasaan kaum muslimin sudah terpecah. (lih. Keterangan Syaikh Sholeh Suhaimi di majalah Adz Dzakhiroh edisi 42, 1419 H). 
Di sisi lain, bagi pengamat orang menganggap daulah Utsmaniyah merupakan bukti sejarah kejayaan umat karena khilafah. Namun bagi pengamat sejarah yang lain berpendapat sebaliknya, daulah Utsmaniyah sama sekali tidak menghukumi kaum muslimin dengan syariat Allah, kecuali dalam kaum muslimin yang tinggal di negeri mereka sendiri, dan itupun hanya sesuai dengan madzhab Hanafi. Bahkan daulah Utsmaniyah telah menjadi pelindung bagi bid’ah dan kesyirikan. Lebih dari itu, raja terakhir dari daulah ini, Sultan Abdul Hamid II telah menjadikan Muhammad As Shayadi –pemimpin thariqoh Ar Rifa’iyah- sebagai penasehat utama kerajaan. (lih. Ar Rad ‘Ala Hizb. Karya Abdur Rahman bin Muhammad Sa’id Ad Dimsyaqi, hal. 71 & 72).

Ringkasnya, semata klaim sejarah bukanlah bukti utama untuk menegakkan satu prinsip dakwah. Bahkan klaim sejarah bukanlah bukti untuk menunjukkan realita. Namun bukan berarti kita menolak sejarah seutuhnya. Bahkan jika itu realita, kita terima seutuhnya. Akan tetapi selayaknya kita jadikan Al Qur’an dan Hadis sebagai acuan utama untuk menegakkan prinsip dakwah.

Mari kita pegangi dua prinsip di atas baik-baik, untuk memberikan jawaban yang tepat dan bijak terhadap permasalahan khilafah. Kita tetapkan jalan menuju kejayaan umat islam hanya satu, yaitu jalan yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu, jika meneriakkan prioritas khilafah adalah SESUAI DENGAN KORIDOR Al Qur’an dan Hadis maka mari kita sepakati bahwa Khilafah adalah JALAN SATU yang ditegaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jalan keselamatan. Sebaliknya, jika memprioritaskan khilafah bukanlah jalan menuju kejayaan umat sebagimana yang DIGARISKAN Al Qur’an dan hadis maka berarti jalur ini termasuk diantara jalan menyimpang yang didiami setan.

bersambung ...

Kisah Hidup Imam Abu Hanifah Rahimahullah yang Menakjubkan

Wajahnya tampan dan ceria, fasih bicaranya dan santun tutur katanya. Tidak terlalu tinggi badannya, tidak pula terlalu pendek sehingga enak dipandang mata. Di samping itu, beliau suka berpenampilan rapi, wajahnya ceria dan gemar memakai wewangian. Ketika muncul di tengah-tengah manusia, mereka bisa menebak kedatangannya dari bau wanginya sebelum melihat orangnya.

Itu lah dia Nu’man bin Tsabit Al-Marzuban yang dikenal dengan Abu Hanifah, orang pertama yang meletakkan dasar-dasar fikih dan mengajarkan hikmah-hikmah yang baik.

Abu Hanifah masih merasakan hidup sesaat sebelum berakhirnya khilafah bani Umayah dan awal kekuasaan bani Abasiyah. Beliau hidup pada suatu masa di mana para khalifah dan para gubernur memanjakan para ilmuwan dan ulama hingga rejeki datang kepada mereka dari segala arah tanpa mereka sadari.

Meski demikian, Abu Hanifah senantiasa menjaga martabat jiwa dan ilmunya dari semua itu. Sesampainya di istana beliau disambut ramah dengan penuh hormat, dipersilakan duduk di samping khalifah Al-Manshur kemudian khalifah bertanya tentang banyak persoalan yang menyangkut agama maupun dunia.

Ketika beliau bermaksud untuk pulang, Amirul Mukminin mengulurkan sebuah wadah yang di dalamnya terdapat tiga puluh ribu dirham, padahal Al-Manshur dikenal kikir dibanding yang lain. Lalu Abu Hanifah berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saya adalah orang asing di Baghdad ini dan tidak memiliki tempat untuk menyimpannya. Maka aku titipkan di baitul maal, kelak jika aku memerlukannya, saya akan meminta kepada Anda.” Maka Al-Manshur mengabulkan permohonannya. Hanya saja, masa hidup Abu Hanifah tak begitu lama setelah peristiwa itu. Ketika beliau wafat, ternyata didapatkan di rumahnya harta titipan orang-orang yang jauh lebih besar daripada pemberian Amirul Mukminin.

Tatkala Al-Manshur mendengar berita tersebut, dia berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah. Dia telah mengelabuhi kita, dia tidak ingin mengambil sesuatu pun dari kita, dia menolak pemberianku dengan cara halus.”

Ini tidaklah aneh, karena Abu Hanifah memiliki prinsip bahwa tidak ada yang lebih bersih dan lebih mulia daripada orang yang makan dari hasil tangannya sendiri. Oleh sebab itu, beliau menyediakan waktu khusus untuk berdagang. Beliau berdagang kain dan pakaian, kadang-kadang pulang pergi antar kota-kota di Irak. Di samping itu beliau juga memiliki toko pakaian yang terkenal dan banyak dikunjungi orang. Mereka mendapatkan kejujuran dalam bermuamalah dan amanah dalam memberi dan mengambil. Tidak diragukan lagi bahwa mereka merasakan kesenangan tersendiri dari cara muamalah Abu Hanifah, perniagaan beliau maju berkat karunia Allah hingga banyak keuntungan yang beliau dapat.

Beliau mendapatkan harta dengan cara yang halal lalu membelanjakan di tempat yang semestinya. Telah menjadi kebiasaan beliau, setiap sampai haul (satu tahun), beliau menghitung laba yang beliau dapat. Lalu menyisihkan sekedarnya untuk mencukupi kebutuhannya, sisanya dibelikan barang untuk diberikan kepada para penghafal Al-Qur’an, ahli hadits, ahli fikih dan murid-muridnya baik berupa makanan ataupun pakaian. Beliau memberikan hal itu sembari berkata, “Ini adalah laba dari hasil perniagaanku dengan kalian, Allah melancarkannya di tanganku. Demi Allah, aku tidak memberi kalian dengan hartaku sendiri, melainkan karunia Allah untuk kalian yang diberikan-Nya melalui aku. Pada tiap-tiap rezeki tidak ada suatu kekuatan dari seseorang kecuali dari Allah.”

Berita tentang kedermawanan dan kebijaksanaan Abu Hanifah masyhur di belahan bumi timur maupun barat. Terutama di kalangan para sahabat dan orang-orang yang biasa bertemu dengan beliau.

Sebagai contohnya, pernah seorang pelanggannya datang ke toko beliau seraya berkata, “Saya membutuhkan baju “khaz”, wahai Abu Hanifah.” Beliau menjawab, “Apa warna yang Anda kehendaki?” dia menjawab, “Yang berwarna ini dan ini.” Beliau berkata, “Bersabarlah sampai saya menemukannya dan akan aku berikan kepada Anda.”

Pada kasus yang lain, ada seorang wanita tua yang mencari baju “khaz”, kemudian beliau menunjukkanbarang yang dimaksud. Lalu wanita itu berkata, “Saya adalah seorang wanita yang lemah, tidak pula tahu menahu soal harga, sedangkan ini hanyalah titipan. Maka juallah baju itu dengan harga yang sama ketika Anda membelinya, lalu ambillah sedikit untung darinya, karena saya adalah wanita lemah.”

Abu Hanifah berkata, “Saya membeli baju ini dua potong dalam satu harga. Saya sudah menjual yang sepotong hingga kurang empat dirham saja dari modal saya. Belialah baju ini seharga empat dirham karena saya tidak ingin mendapatkan laba dari Anda.”

Suatu hari beliau mendapatkan pakaian usang dan lusuh yang dikenakan seorang yang menghadiri majlisnya. Ketika orang-orang telah bubar dan tak ada seorang pun selain beliau dan laki-laki itu, beliau berkata, “Angkatlah alas shalat itu lalu ambillah sesuatu di bawahnya.” Orang itu mengangkat alas yang dimaksud, ternyata ada uang seribu dirham. Abu Hanifah berakta, “Ambillah dan perbaikilah penampilan Anda.” Orang itu menjawab, “Saya adalah orang yang mampu. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melimpahkan nikmat-Nya untuk saya. Saya tidak membutuhkannya.” Abu Hanifah berkata, “Jika Allah telah memberikan nikmatnya kepada Anda, lantas manakan bekas nikmat yang engkau tampakkan? Belum sampaikah sabda Nabi saw, “Allah suka melihat bekas-bekas nikmat-Nya atas para hambanya,” sudah sepantasnya Anda memperbagus penampilan Anda agar tidak menyusahkan teman Anda.”

Kedermawanan Abu Hanifah dan perlakuan baiknya kepada orang lain mencapai klimaksnya, hingga setiap kalia beliau memberikan belanja kepada keluarganya, beliau juga menginfakkan jumlah yang sama kepada orang-orang yang membutuhkan. Setiap kali beliau memakai baju baru, beliau juga membelikan baju-baju untuk orang miskin sebesar harga bajunya. Jika diletakkan makanan di hadapannya, beliau sisihkan separuhnya untuk diberikan kepada orang-orang fakir.

Diriwayatkan pula bahwa beliau bertekad setiap kali bersumpah kepada Allah di tengah pembicaraannya, beliau akan bersedekah dengan satu dirham perak. Berikutnya ditingkatkan lagi, beliau berjanji untuk bersedekah satu dinar emas setiap kali bersumpah di tengah pembicaraanya. Namun jika sumpahnya menjadi kenyataan, dia sedekah lagi sebanyak satu dinar.

Salah satu rekan bisnis Abu Hanifah adalah Hafs bin Abdurrahman. Abu Hanifah biasa menitipkan kain-kain kepadanya untuk dijual ke sebagian kota-kota di Irak. Suatu kali Abu Hanfiah memberikan dagangan yang banyak kepada Hafsh sambil memberitahukan bahwa pada barang ini dan itu ada cacatnya. Beliau berkata, “Jika Anda bermaksud menjualnya, maka beritahukanlah cacat barang kepada orang yang hendak membelinya.”

Akhirnya Hafsh berhasil menjual seluruh barang, namun dia lupa memberitahukan cacat barang-barang tertentu tersebut. Dia berusah mengingat-ingat orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, namun hasilnya nihil. Tatkala Abu Hanifah mengetahui duduk perkaranya, juga tidak mungkin diketahui siapa yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, beliau merasa tidak tenang hingga kahirnya beliau sedekahkan seluruh hasil penjualan yang dibawa Hafsh.

Di samping itu, Abu Hanifah juga pandai bergaul. Majelisnya dipenuhi orang dan dia bersusah hati bila ada yang tidak hadir meski dia orang yang memusuhinya. Salah seorang sahabatnya mengisahkan, “Aku mendengar Abdullah bin Mubarak berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah alangkah jauhnya Abu Hanifah dari ghibah. Akut ak pernah medengarnya menyebutkan satu keburukan pun tentang musuhnya.” Sufyan Ats-Tsauri menjawab, “Abu Hanifah cukup berakal sehingga tidak akan membiarkan kebaikannya lenyap karena ghibahnya.”

Di antara kegemaran Abu Hanifah adalah mencukupi kebutuhan orang yang menarik simpatinya. Sering ada orang lewat kemudian ikut duduk di majelisnya tanpa sengaja. Ketikadia hendak beranjak pergi, beliau segera menghampirinya dan bertanya tentang kebutuhannya. Bila dia punya kebutuhan, maka Abu Hanifah akan memberinya, kalau sakit maka akan beliau antarkan dan jika memiliki hutang maka beliau akan membayarkan sehingga terjalinlah hubungan yang baik antara keduanya.

Dengan segala keutamaan yang disandang Abu Hanifah tersebut, beliau juga termasuk orang yang rajin shaum di siang hari dan shalat tahajud di malam harinya. Akrab dengan Al-Qur’an dan istighfar di waktu ashar. Ketekunannya dalam beribadah di latar belakangi oleh peristiwa di mana beliau mendatangi suatu kaum lalu mendengar mereka berkomentar tentang Abu Hanifah. “Orang yang kalian lihat itu tidak pernah tidur malam.” Demi mendengar kata-kata itu, Abu Hanifah berkata, “Dugaan orang terhadapku ternyata berbeda dengan apa yang aku kerjakan di sisi Allah. Demi Allah jangan pernah orang-orang mengatakan sesuatu yang tidak aku lakukan. Aku tak akan tidur di atas bantal sejak hari ini hingga bertemu dengan Allah.”

Mulai hari itu Abu Hanifah membiasakan seluruh malamnya untuk shalat. Setiap kali malam datang dan kegelapan menyelimuti alam, ketika semua lambung merebahkan diri. Beliau bangkit mengenakan pakaian yang indah, merapikan jenggot dan memakai wewangian. Kemudian beridiri di mihrabnya, mengisi malamnya untuk ketaatan kepada Allah, atau membaca beberapa juz dari Al-Qur’an. Setelah itu mengangkat kedua tangan dengan sepenuh harap disertai kerendahan hati. Terkadang beliau mengkhatamkan Al-Qur’an penuh dalam satu rekaat, terkadang pula beliau menghabiskan shalat semalam dengan satu ayat saja.

Sebuah riwayat menyebutkan bahwa tatkala shalat malam secara berulang-ulang Abu Hanifah membaca membaca firman Allah Ta’ala:

“Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pasti,” (Al-Qamar: 46).

Beliau menangis karena takut kepada Allah dengan tangisan yang menyayat hati.

Telah diketahui banyak orang selama lebih dari empat puluh tahun beliau melakukan shalat fajar dengan wudhu shalat isya’. Hingga akhir wafat beliau pernah mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 7000 kali.

Setiap kali beliau membaca surat Al-Zalzalah, gemetar jasadnya, beretar hatinya. Dengan memegang jenggotnya, beliau berkata, “Wahai yang membalas sebesar dzarrah kebaikan dengan kebaikan dan sebesar dzarrah keburukan dengan keburukan, selamatkanlah hamba-Mu Nu’man dari api neraka dan jauhkan ia dari apa-apa yang bisa mendekatkan dengan neraka, masukkanlah ia ke dalam luasnya rahmat-Mu, ya Arhamarrahimin.

(novel/al-Islam)

taken from eramuslim.com

Apakah Amar Ma'ruf dan Nahi Mungkar Harus Dilakukan Oleh Orang yang Sempurna?

Sa’id bin Jubair mengatakan :
“Jika tidak boleh melakukan amar makruf dan nahi mungkar kecuali orang yang sempurna niscaya tidak ada satupun orang yang boleh melakukannya.”

Ucapan Sa’id bin Jubair ini dinilai oleh Imam Malik sebagai ucapan yang sangat tepat. (Tafsir Qurthubi, 1/410)

Al-Hasan Al-Bashri juga pernah mengatakan,
“Wahai sekalian manusia sungguh aku akan memberikan nasihat kepada kalian padahal aku BUKANLAH orang yang paling shalih dan yang paling baik di antara kalian. ”

“Sungguh aku memiliki banyak maksiat dan tidak mampu mengontrol dan mengekang diriku supaya selalu taat kepada Allah.”

“Andai seorang mukmin tidak boleh memberikan nasihat kepada saudaranya kecuali setelah mampu mengontrol dirinya niscaya hilanglah para pemberi nasihat dan minimlah orang-orang yang mau mengingatkan.” (Tafsir Qurthubi, 1/410)

Sedangkan Imam Nawawi mengatakan:
“Para ulama menjelaskan orang yang melakukan amar makruf dan nahi mungkar tidaklah disyaratkan haruslah orang yang sempurna, melaksanakan semua yang dia perintahkan dan menjauhi semua yang dia larang.”

“Bahkan kewajiban amar makruf itu tetap ada meski orang tersebut tidak melaksanakan apa yang dia perintahkan. Demikian pula kewajiban nahi mungkar itu tetap ada meski orangnya masih mengerjakan apa yang dia larang.”

“Hal ini dikarenakan orang tersebut memiliki dua kewajiban:

Pertama, memerintah dan melarang diri sendiri,

Kedua memerintah dan melarang orang lain.

Jika salah satu sudah ditinggalkan bagaimanakah mungkin hal itu menjadi alasan untuk meninggalkan yang kedua.” (Al-Minhaj, 1/300)

Ibnu Hajar menukil perkataan sebagian ulama,
“Amar makruf itu wajib bagi orang yang mampu melakukannya dan tidak khawatir adanya bahaya menimpa dirinya meskipun orang yang melakukan amar makruf tersebut dalam kondisi bermaksiat.”

“Secara umum orang tersebut tetap mendapatkan pahala karena melaksanakan amar makruf terlebih jika kata-kata orang tersebut sangat ditaati. Sedangkan dosa yang dia miliki maka boleh jadi Allah ampuni dan boleh jadi Allah menyiksa karenanya. ”

“Adapun orang yang beranggapan tidak boleh beramar makruf kecuali orang yang tidak memiliki cacat maka jika yang dia maksudkan bahwa itulah yang ideal maka satu hal yang baik. Jika tidak maka anggapan tersebut berkonsekuensi menutup pintu amar makruf jika tidak ada orang yang memenuhi kriteria.” (Fathul Baari, 14/554)

Wallahu a’lam



Oleh Rezy Ramadhan
Melalui www.eramuslim.com

Imam Bukhari mengatakan, “Bab: Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan”

Ilmu Dulu, Baru Amal

Ada seseorang yang bercerita, dalam sebuah perjalanan manasik haji, para jamaah haji secara bertubi-tubi mengajukan banyak pertanyaan kepada pembimbing haji. Hampir semua permasalahan yang mereka jumpai dalam pelaksanaan ibadah haji, selalu dikonsultasikan kepada pembimbing. Kita yakin, suasana semacam ini hampir dialami oleh semua jamaah haji. Mengapa bisa terjadi demikian? Jawabannya hanya ada dua kemungkinan; pertama, mereka khawatir jangan-jangan ibadah haji yang mereka lakukan batal dan tidak diterima oleh Allah. Atau kedua, mereka takut dan khawatir jangan sampai melakukan tindakan pelanggaran yang menyebabkan mereka harus membayar denda.

Demikianlah gambaran semangat orang terhadap ilmu ketika melaksanakan ibadah haji. Suasana itu terbentuk disebabkan kekhawatiran mereka agar hajinya tidak batal. Mereka sadar, ibadah ini telah memakan banyak biaya dan tenaga, sehingga sangat disayangkan ketika ibadah yang sangat mahal nilainya ini, tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi dirinya.

Pernahkah sikap dan perasaan semacam ini hadir dalam diri kita dalam setiap melaksanakan ibadah, atau bahkan dalam setiap amal perbuatan kita? Ataukah sebaliknya, justru kita begitu menganggap enteng setiap amal, sehingga tidak mempedulikan pondasi ilmunya. Inilah yang penting untuk kita renungkan. Semangat untuk mendasari setiap amal dengan ilmu merupakan cerminan perhatian seseorang terhadap kesempurnaan beramal. Untuk menunjukkan sikap ini, seorang ulama, yang bernama Sufyan at-Tsauri mengatakan, “Jika kamu mampu tidak akan menggaruk kepala kecuali jika ada dalilnya maka lakukanlah.” (Al Jami’ li Akhlaq ar Rawi wa Adab as-Sami’, Khatib al-Baghdadi, Mauqi Jami’ al-Hadis: 1/197)

Ulama ini menasehatkan agar setiap amal yang kita lakukan sebisa mungkin didasari dengan dalil. Sampai-pun dalam masalah kebiasaan kita, atau bahkan sampai dalam masalah yang mungkin dianggap sepele. Apalagi dalam masalah ibadah. Karena inilah syarat mutlak seseorang dikatakan mengamalkan dalil.

Namun sayangnya, masih banyak di antara kaum muslimin yang kurang mempedulikan landasan ilmu ketika beramal yang sifatnya rutinitas. Jarang kita temukan orang yang melaksanakan ibadah rutin, semacam shalat misalnya, kemudian dia berusaha mencari tahu, apa landasan setiap gerakan dan bacaan shalat yang dia kerjakan. Bisa jadi ini didasari anggapan, amal rutinitas ini terlalu ringan dan mudah untuk dilakukan.

Ilmu Syarat Sah Amal
Mengapa harus berilmu sebelum beramal? Pada bagian inilah yang akan melengkapi keterangan di atas, yang mengajak untuk senantiasa mendasari amal dengan ilmu. Inti dari penjelasan ini adalah kesimpulan bahwa ilmu adalah syarat sah amal.

Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari mengatakan, “Bab: Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan” (Shahih al-Bukhari, kitab: al-Ilmu, bab al ilmu qabla al-qoul wa al amal)

Ucapan Imam Bukhari ini telah mendapatkan perhatian khusus dari para ulama. Karena itu, perkataan beliau ini banyak dikutip oleh para ulama setelahnya dalam buku-buku mereka. Imam Bukhari berdalil dengan firman Allah (yang artinya), “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mintalah ampunan untuk dosamu” (QS. Muhammad: 19)

Di ayat ini, Allah memulai perintahnya dengan: “ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah”, yang ini merupakan perintah untuk mencari ilmu. Kemudian Allah sebutkan amal yang sangat penting yaitu istighfar, sebagaimana Allah sebutkan di lanjutan ayat, yang artinya: “….mintalah ampunan untuk dosamu.”.

Ketika menjelaskan hadis ini, al-Hafidz al-Aini dalam kitab syarh shahih Bukhari mengutip perkataan Ibnul Munayir berikut, “Yang beliau maksudkan bahwasanya ilmu adalah syarat sah ucapan dan perbuatan. Ucapan dan perbuatan tidak akan dinilai kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu, ilmu didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan. Karena ilmu yang akan men-sahkan niat, dan niat adalah yang men-sahkan amal.” (Umdatu al-Qori, Syarh Shahih Bukhari, al-Hafidz al-Aini, jilid 2, hal. 476).

Dari keterangan Ibnul Munayir dapat disimpulkan, posisi ilmu dalam amal adalah sebagai pengendali niat. Karena seseorang baru bisa berniat untuk beramal dengan niat yang benar, jika dia memahami (baca: mengilmui) tujuan dia beramal. Hal ini sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Batthal, dengan mengutip keterangan al-Muhallab, yang mengatakan, “Amal itu tidak mungkin diterima kecuali yang didahului dengan tujuan untuk Allah. Inti dari tujuan ini adalah memahami (mengilmui) tentang pahala yang Allah janjikan, serta memahami tata cara ikhlas kepada Allah dalam beramal. Dalam keadaan semacam ini, bolehlah amal tersebut diharapkan bisa memberikan manfaat, karena telah didahului dengan ilmu. Sebaliknya, ketika amal itu tidak diiringi dengan niat, tidak mengharapkan pahala, dan kosong dari ikhlas karena Allah maka hakekatnya bukanlah amal, namun ini seperti perbuatan orang gila, yang tidak dicatat amalnya.” (Syarh Shahih Bukhari karya Ibnu Batthal, Syamilah, 1/145)

Lebih dari itu, setiap orang yang hendak beramal, dia dituntut untuk memahami amal yang akan dia kerjakan. Agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan menyebabkan amalnya tidak diterima. Mungkin dari tulisan Imam Bukhari di atas, ada sebagian orang yang bertanya: Untuk apa kita harus belajar, padahal belum waktunya untuk diamalkan?

Sesungguhnya setiap orang dituntut untuk senantiasa belajar, meskipun ilmu yang dia pelajari belum waktunya untuk diamalkan. Seperti ilmu tentang haji, padahal dia belum memiliki kemampuan untuk berangkat haji. Karena ilmu itu akan senantiasa memberikan manfaat bagi dirinya atau orang lain. Al-Hafidz al-Aini ketika menjelaskan perkataan Imam Bukhari di atas, beliau menyatakan, “Imam Bukhari mengingatkan hal ini – Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan –, agar tidak didahului oleh pemahaman bahwa ilmu itu tidak manfaat kecuali jika disertai dengan amal. Pemahaman ini dilatar-belakangi sikap meremehkan ilmu dan menganggap mudah dalam mencari ilmu.” (Umadatul Qori Syarh Shahih Bukhari, al-Hafidz al-Aini, as-Syamilah, 2/476)

Apa itu Ilmu?
Yang kami maksud dengan ilmu adalah dalil, baik dari al Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikhul Islam, Ahmad bin Abdul Halim al-Harrani mengatakan, “Ilmu adalah kesimpulan yang ada dalilnya, sedangkan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Majmu’ Fatawa, Syamilah, jilid 6, hal. 388)

Bagian ini perlu ditegaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Intinya ingin menjelaskan, setiap orang yang beramal dan dia tahu dalilnya maka boleh dikatakan, orang ini telah beramal atas dasar ilmu. Sebaliknya, beramal namun tidak ada landasan dalil belum dikatakan beramal atas dasar ilmu.

Lantas bagaimana dengan orang awam yang tidak faham dalil? Apakah dia diwajibkan mencari dalil? Jawabannya, untuk orang awam, dalil bagi mereka adalah keterangan dan fatwa ulama yang mendasari nasehatnya dengan dalil. Bukan keterangan ulama yang pemikirannya bertolak belakang dengan al-Qur’an dan sunnah. Dalilnya adalah firman Allah, “Bertanyalah kepada ahli ilmu, jika kalian tidak mengetahuinya” (QS. Al-Anbiya: 7)

Muslim Vs Nasrani Vs Yahudi
Tekait masalah ini, ada tiga kelompok manusia yang sangat esktrim perbedaannya. Ketiga jenis manusia ini Allah sebutkan dalam al-Qur’an, di surat al-Fatihah. Allah berfirman, “Berilah kami petunjuk ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat. Bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 5 – 7)

Pada ayat di atas, Allah membagi manusia terkait dengan hidayah ilmu menjadi tiga golongan:

Pertama, golongan orang yang mendapat nikmat. Merekalah golongan yang mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dalam beragama.

Kedua, golongan orang-orang yang dimurkai. Merekalah orang-orang yahudi

Ketiga, golongan orang-orang yang sesat, yaitu orang-orang nasrani.

Syaikhul Islam menjelaskan sebab kedua umat yahudi dan nasrani dikafirkan:

Kesimpulannya, bahwa kekafiran orang yahudi pada asalnya disebabkan mereka tidak mengamalkan ilmu mereka. Mereka memahami kebenaran, namun mereka tidak mengikuti kebenaran tersebut dengan amal atau ucapan. Sedangkan kekafiran nasrani disebabkan amal perbuatan mereka yang tidak didasari ilmu. Mereka rajin dalam melaksanakan berbagai macam ibadah, tanpa adanya syariat dari Allah… karena itu, sebagian ulama, seperti Sufyan bin Uyainah dan yang lainnya mengatakan: “Jika ada golongan ulama yang sesat, itu karena dalam dirinya ada kemiripan dengan orang yahudi. Sedangkan golongan ahli ibadah yang rusak karena dalam dirinya ada kemiripan dengan orang nasrani” (Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, Ahmad bin Abdul Halim al-Harrani, dengan Tahqiq Dr. Nashir al-`Aql, Kementrian Wakaf dan Urusan Islam KSA, 1419 H, jilid 1, hal. 79 )

Penjelasan yang bagus di atas memberikan kesimpulan, titik perbedaan antara umat islam dengan kaum yahudi dan nasrani adalah terkait masalah ilmu dan amal. Umat islam menduduki posisi pertengahan, dengan menggabungkan antara ilmu dan amal.

Tingkatan Ilmu
Untuk melengkapi pembahasan, berikutnya kita kupas tentang tingkatan ilmu berdasarkan hukumnya. Sesungguhnya hukum belajar ilmu syar`i itu ada dua tingkatan:

1) fardhu`ain (menjadi kewajiban setiap orang)
Ilmu syar`i yang wajib diketahui dan dipelajari semua orang adalah ilmu syar`i yang menjadi syarat seseorang untuk bisa memahami aqidah pokok dengan benar dan tata cara ibadah yang hendak dikerjakan. Termasuk juga ilmu tentang praktek mu`amalah yang hendak dia lakukan.

2) fardhu kifayah
Tingkatan yang kedua adalah ilmu syar`i yang harus dipelajari oleh sebagian kaum muslimin dengan jumlah tertentu, sehingga memenuhi kebutuhan untuk disebarkan kepada umat. Dalam kondisi ini, jika sudah ada sebagian kaum muslimin dengan jumlah yang dianggap cukup, yang melaksanakannya maka kaum muslimin yang lain tidak diwajibkan.

Catatan: Bagi mereka yang ingin mengkhususkan diri mempelajari ilmu syar`i lebih mendalam, hendaknya dia meniatkan diri untuk melaksanakan tugas fardhu kifayah dalam bentuk mencari ilmu. Agar dia mendapatkan tambahan pahala mengamalkan amalan fardhu kifayah, disamping dia juga mendapatkan ilmu. Allahu a’lam. (lih. Kitab al-Ilmu, Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Mauqi` al-Islam, hal. 14)

Oleh : Ustadz Ammi Nur Baits

http://buletin.muslim.or.id
 
Copyright © 2014. Sesuai Sunnah Rasulullah - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger - Creating Website.